Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Archive for Maret 12th, 2009

Laut Menyanyi

Posted by permanas pada 12 Maret 2009

“Ini takdir kita, anakku, meskipun nasib ada dikepalan kita dan kau berhak untuk mengubah nasibmu sendiri yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita mesti besyukur, menerima dengan lapang dada dan menjaganya sebaik mungkin apa-apa yang telah Tuhan takdirkan.”

“Maksud Abah, apakah yang kita terima dan kita jaga dalam kehidupan ini? Anang hanya tahu kalau nasib tergantung dengan apa yang kita lakukan sementara angin selalu berbisik kepada gunung dan pohon-pohon, mereka menyembunyikan rahasia alam yang diberikan langit kepada ibu bumi. Mestikah kita harus mencarinya dengan takdir dan keterbatasan kita?”

***

Aku masih ingat ketika kecil dulu, Abah selalu mengajakku pergi melihat pantai dan laut, selalu mengajariku tentang kehidupan. Menurutnya laut dan garis pantai itu, tempat bertemunya air dan daratan, Abah menyimbolkannya sebagai keterbatasan manusia. Camar yang beterbangan mengejar gelombang ombak, ia pernah berkata, camar itu dihubungkan sebagai pengantar antara langit dan bumi, kita mesti berguru kepadanya. Kita akan tahu kelak kenapa camar menjadi pengantar langit dan bumi.

Jelas sekali terdengar gemuruh ombak menampari batu karang, aku kagum batu karang itu masih kokoh meskipun hingga sekarang, semuanya masih seperti dulu. “Laut itu menyanyi, anakku, kalau engkau ingin tahu.” Itu kata Abah, kata-katanya masih kuingat sampai sekarang.

“Lihatlah ke sana,” kata Abah, sambil mengarahkan jarinya dari tangan kekar tapi penuh kelembutan itu ke arah cakrawala tempat langit seakan menginjakkan kakinya di sana. Aku masih terpaku, diam menatap tempat yang dimaksud Abah. Penghormatannya terhadap alam sangat dalam. Ia tersenyum kemudian meneruskan ucapannya. “Di sana kau dapat menemukan rahasia itu meski dengan keterbatasan kita di sini. Ciumlah aroma laut dan genggamlah erat-erat pasir ini, belajarlah layaknya manusia di bumi ini. Meskipun kau berguru kepada guru atau belajar kepada ikan, tapi tetapkan hatimu, anakku, jangan kau melebihi keterbatasanmu. Betapa mimpi tak memiliki batas, tapi ia adalah ilusi yang sangat berbahaya andai kau tidak mau membatasinya. Ini kenyataan kita, anakku, ingatlah siapa diri kita kelak.”

Laut itu, tempat bermuaranya semua air tetapi ia menjaganya agar tetap jernih dan indah. Makhluk-makhluk yang berlindung di dalamnya dan nelayan-nelayan yang mengarungi gelombangnya, lalu burung-burung yang melabuhkan impiannya di pantai, laut itu memang menyanyi dengan gembira, semuanya berdendang. Aku mengarunginya, menyenanginya, bersatu dengannya, dan merangkulinya. Ia menjadi salah satu guru, aku belajar darinya dan mencintainya.

Hari ini kucium lagi aroma laut, menggenggam erat pasir kemudian berdiri di bibir pantai, buihnya menyentuh kakiku. Kembali aku mengenangkan seperti seorang murid yang pulang kepada gurunya setelah ia mengarungi nasibnya. Kutatap lagi cakrawala, namun aku belum pernah menyentuh kakinya meskipun ia berdiri di sana, hanya ombak yang menyalami ketika aku datang kepadanya.

“Bukan cuma ombak yang menyalami kedatangan kita ke laut, tapi lihatlah, seluruh alam menatap gembira kepada kita dan pulau-pulau itu tersenyum walau ia tak pernah bicara betapa senangnya ia kalau kita bersenda gurau dengannya,” kata Abah lagi ketika aku masih diam menatap sejauh mata memandang lautan luas itu.

“Senja sudah datang, Bah, di ujung cakrawala matahari semakin merendam dirinya di sana. Apakah ia terlalu lelah sehingga ingin segera menarik selimut mega dan tertidur. Apakah laut akan berhenti bernyanyi kalau gelap datang, apakah kegembiraan itu akan sirna karena semuanya terlelap dalam mimpinya, lalu siapakah yang menyambut bintang-bintang di sana dan menemani rembulan ketika ia berdiri di langit sana?”

“Laut akan tetap menyanyi, anakku, meskipun tak ada yang mendengarnya. Ia akan tetap bernyanyi untuk menyambut bintang dan rembulan. Malam di sini akan tetap terlihat indah meskipun semuanya tertidur dan kegembiraan di sini tak akan sirna meskipun gelap menyelimuti. Sekarang mari kita pulang dan biarkan laut ini tetap menyanyi.”

Semua sunyi sekarang dan aku pun melangkah pergi meninggalkan tempat ini. Kelak aku akan kembali untuk mengulangkan dan mendengarkan, membiarkan waktu membius malam dan hari-hari selanjutnya. Tapi, meskipun demikian ada yang tak berubah. Seperti kata Abah, laut itu tetap menyanyi. Hingga sekarang aku masih mendengarnya kembali menyanyi.

Posted in CERPEN | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »