Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Posts Tagged ‘sekejap’

Sekejap itu Selamanya

Posted by permanas pada 24 September 2008

Aku malu waktu dia bilang dia suka aku. Alasan klise, tapi tetap saja aku menjadi kikuk dan seluruh wajahku jadi merah jambu. Sama seperti yang ada dalam detak di dada. Ah, cintakah itu? Atau perasaan itu cuma sekejap dan menipu. Tidak, tidak, hal itu tidak ingin terjadi padaku.

Dia bilang dia ingin menjadi kekasihku, setiap malam minggu ia ingin datang ke rumahku, menemui ibuku, bapakku, kakak dan tentu juga adik-adikku. Sedikit menjilat, mengajak main catur bapak, memberi sedikit uang jajan pada adikku dan senyum ramah untuk kakak dan seisi rumahku. Tapi ia sudah menyiapkan beberapa rayuan yang dibuatnya khusus untukku. Gombal! Tapi, tetap saja aku suka.

Andai saja semua laki-laki di seluruh dunia ini seperti kais dalam cerita, apakah seluruhnya akan menjadi pecinta-pecinta lalu menjadi gila. Ah, sebelum itu pun semua para laki-laki sudah tergila-gila pada perempuan, mungkin lebih dari seorang, menjijikkan sekaligus menyenangkan. Anehnya dunia dengan perasaan yang satu itu, baik tersampaikan atau tidak, tersurat atau tidak tersirat. Perasaan itu selalu membuat banyak laki-laki dan perempuan menjadi terbang sekaligus jatuh. Aku tidak tahu apakah aku terbang atau jatuh, atau merasakan kedua-duanya. Aku merasakan kedua-duanya!

Dia datang. Tentu, malam ini malam minggu dan banyak pasangan di malam ini melakukan ritual yang satu itu. Aku senang, salah tingkah, semua yang kulakukan serba salah, bahkan dandanan ini pun tidak sesuai dengan yang aku inginkan. Dan, ah, pakaian ini, ikat rambut ini, apakah aku harus menguncir atau membiarkannya tergerai. Sudahlah, toh, ia tetap suka padaku. Hatinya sedang berbunga-bunga, ia hanya ingin melihat senyum dan gigiku yang gingsul saja. Lainnya, hihihi…, mana aku tahu.

“Ade, ada yang ingin menemuimu. Juki sudah datang, kamu mau menemuinya atau tidak?” suara Ibu menggema dari balik pintu kamar. Hah, tentu saja aku ingin.

“Sebentar lagi,” kataku datar, mencoba menyembunyikan perasaan yang hampir saja meledak.

Tapi, yang benar saja, aku tidak ingin langsung keluar untuk menemui dia itu. Aku akan sedikit lama mengulur-ulur waktu sekalian menguji kesabarannya seberapa ingin ia mau menemuiku dan menungguku. Ini penting sekaligus menjaga nama baikku agar tidak dianggap murahan dan seberapa baik ia dapat menghadapi seluruh keluargaku. Lagi-lagi tampaknya rok ini tidak pantas dengan atasan yang kukenakan, cermin ini atau pandanganku yang salah. Oooo…oooh, aku benar-benar dibuatnya gila!

*** ***

Di bangku beranda depan Juki masih senyum-senyum sendirian, entah apa yang dipikrikan olehnya, Juki berlaku demikian sejak tadi, sejak terlalu lama dirinya menunggu pujaan hati. Iseng-iseng Juki malah merapalkan kembali rayuan-rayuannya untuk Ade, sedikit senyum lagi, merapal lagi lalu diselingi menghisap rokok putihnya. Ia membelinya hanya untuk sekedar gaya saja, mengimbangi pakaian necisnya yang hanya satu-satunya Juki miliki.

“Hayo, kita main lagi. Malam minggu kemarin kamu masih hutang satu angka sama Bapak,” tiba-tiba bapak Ade muncul sambil menenteng papan catur, sekali tangannya membetulkan sarungnya yang sedikit melorot.

“Memangnya kompetisi itu mesti terus dilanjutkan, Pak?” tanya Juki pura-pura bodoh.

“Ya, harus itu, Nak Juki. Seperti biasa peraturannya, untuk menemani anak Bapak yang satu itu kamu harus mengalahkan Bapak terlebih dahulu,” kata Bapak Ade. Tanpa dibiarkan waktu terbuang percuma, Bapak Ade langsung menggelar papan catur dan mengambil bidak putih, biar langsung menyerang.

“Wah, mati aku,” pikir Juki membatin. “Bagaimana kalau saya kalah lagi, Pak?”

“Seperti kemarin juga, kamu tidak boleh pacaran keluar rumah, bahaya. Banyak kendaraan lalu lalang dan hampir sebagian pengendaranya sinting-sinting, nanti kamu dan anak saya bisa-bisa kecelakaan. Itukan malah tambah repot nantinya. Betul ndak, Nak Juki?”

“Repot sih repot, Pak. Saya malah lebih repot lagi,” gerutu Juki.

“Kamu bisa saja. Ayo, sekarang giliran kamu jalan. Hati-hati, nanti menteri kamu terinjak.”

“Om, mana uang tutup mulutnya?” tanya Edo sambil menadahkan tangan kepada Juki.

“Kamu, Edo, Bapak baru mulai serius main. Bisanya cuma mengganggu orang saja anak ini.” Bapak Ade berseloroh santai.

“Nggak apa-apa kok, Pak. Kebetulan saya ada sedikit lebih,” kata Juki sambil mengeluarkan beberapa lembar ribuan dan menaruhnya di atas tangan Edo. Andai saja waktu itu Edo tidak memergoki Juki mencium pipi Ade pasti kejadiannya tidak akan seperti ini, pikir Juki.

“Terima kasih, Om.”

“Ya, ya, sekarang pergi sana.”

“SKAK! Nah, kan, apa Bapak bilang.”

“…???” Juki melongo.

“Kapan kamu ada persiapan untuk melamar Ade, Nak Juki?” tanya Ibu Ade tiba-tiba sambil membawa senampan penganan dan minuman. Ditanya seperti itu Juki hanya tersenyum kecil saja.

“Ibu ini,”

“Apa toh, Pak. Sekedar tanya kan boleh-boleh saja. Ia ndak, Nak Juki?”

“E.., a.., bo.., boleh, boleh saja, Bu.”

“Jadi kapan?”

“Jangan memaksa, Bu. Juki saja baru kenal Ade, begitu juga sebaliknya. Kita kan juga harus meneliti dan menyelidiki bibit, bobot dan bebetnya Nak Juki. Pilih jangan asal pilih. Pilih arang pilih arang asal jangan patah arang belakangan. Bukan begitu, Bak Juki?”

“Bapak ini, jodoh kok kayak orang dagang saja.”

“Harus seperti itu.”

“Tapi kan kita juga harus berani spekulasi, Pak,” sela Juki membela diri.

“Tapi jangan pilih kucing dalam karung. Jangan-jangan malah kamu kucingnya nanti.”

*** ***

“Ade jalan dulu, Pak, Bu,” kata Ade sambil menggandeng tangan Juki keluar rumah.

“Sebenarnya kamu tidak Bapak ijinkan keluar rumah. Tapi, sekali-kali bolehlah. He, Juki, ingat pulang jangan malam-malam. Kalau mau menyebrang pikir sepuluh kali lipat.”

“Tenang saja, Pak, tidak usah khawatir. Kami pasti baik-baik saja.

“Hati-hati,” sambung Ibu Ade.

Mereka lalu keluar halaman, meninggalkan pintu gerbang rumah untuk menjelajah pintu gerbang yang lain. Pergi ke pantai, melihat cakrawala biru, rasanya tidak selalu berwarna biru di mata laki-laki dan perempuan yang sedang disihir oleh kekuatan lain. Cinta, cinta, dan lebih dari itu, kehangatan menjalar, ada angin mendesir, awan-awan tersingkap, tawa nakal menjenjang, setelah itu nyanyi ombak masih menderu-deru.

“Kamu nakal!”

*** ***

Itulah masa-masa indahku dulu, aku selalu tersenyum membayangkan kembali, memang serasa melayang, pergi ke tempat lain dan berlari liar menemui kebebasan di sana. Tapi itu sekejap. Sekarang aku mawar layu, sekarat dan merintih. Tidak, aku bukan mawar, hanya kembang buah yang sarinya sudah tersingkap dan tinggal menunggu matang, menunggu musim. Aku rasa, cinta tidak gila, jiwa yang tersihirlah yang liar. Sekarang perutku tinggal menunggu rekah saja. Sekejap itu ternyata selamanya bagiku.***permanas/010804

Posted in CERPEN | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | 2 Comments »