Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Ular dan Gagak

Posted by permanas pada 23 Maret 2009

Hari sabtu kemarin petang, ketika saya sedang bersantai menikmati sore yang tenang sambil meminum kopi dan membaca, tiba-tiba saja saya dikejutkan oleh tamu tak diundang, tamu itu berwujud seekor ular. Meski pun hanya seekor ular kebun yang tidak berbahaya, ia tetap seekor ular. Untungnya kali ini ia sedang tidak ingin apa-apa, mungkin hanya sekedar lewat saja barangkali. Maka dengan rasa berteman, saya mengambil sapu lantai, tidak, bukan untuk memukulnya, tetapi dengan lembut saya mengarahkan si ular itu untuk kembali saja ke kebun karena percuma ia tidak akan menemukan apa-apa di tempat beradanya saya. Saya melakukan seprofesional mungkin seperti yang dilakukan dalam film-film dokumenter, jika kita melakukan kelembutan dengan lingkungan liar di sekitar kita, tentunya ia akan bertindak ramah, sepertinya hukum rimba tersebut masih berlaku di tempat saya yang notabenenya hampir sedikit sekali tanah terbuka dan rumput bisa tumbuh dengan sahaja. Ular itu tidak berbalik untuk berusaha menggigit saya, sebaliknya ia mengikuti arahan saya dengan berjalan kembali ke dalam semak-semak dekat rumah saya. Posisi saya, kaki saya dan ular itu tidak lebih dari setengah meter, jadi betapa dekatnya jika ia ingin menggigit saya, tapi tidak dilakukannya. Ular itu lebih memilih berdamai dengan lingkungannya dengan tidak melakukan kekasaran dan kebrutalan yang tidak perlu, yang jika saja ia lakukan bisa mengakibatkan nyawanya melayang secara sia-sia.

Saya jadi tersenyum sendiri, bernafas lega ketika ular itu kembali masuk ke dalam semak-semak. Untung ia bertemu dengan saya, pikir saya ketika itu, jika tidak, bisa saja kebrutalan atas dirinya dapat terjadi dan membuat dirinya kehilangan nyawa. Saya teringat ayah saya sendiri, ketika melihat sosok ular ia langsung mencari pentungan dan berusaha membunuh ular itu sebagai tamu tak diundang yang bisa membahayakan seluruh anggota keluarga. Untung saja, pikiran saya menolak melakukan pembunuhan itu. Saya lebih memilih untuk membiarkannya tetap lepas di alam dan menjadi salah satu rantai yang tidak hilang secara paksa dalam kehidupan. Saya pikir lagi, binatang ya tetap binatang dengan naluri binatang, yaitu untuk bertahan hidup dan meneruskan generasinya. Saya akhirnya mengerti kenapa kita harus menjaga lingkungan tetap lestari dan tidak mengeksploitasinya secara berlebihan, karena ia juga milik jutaan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi ini.

Sementara pada hari minggu sorenya, ketika saya juga sedang santai mendengarkan musik kesenangan saya, menjelang maghrib, tiba-tiba saja seekor burung gagak besar dan hitam hinggap pada palangan kayu tepat di atas kepala saya. Ya, kami saling menatap, gagak itu seakan tidak takut kepada saya, malah ia mencoba mengukur ketakutan saya kepadanya dengan tetap menatap saya dengan tajam. Akhirnya saya memberanikan diri, mencoba menggapainya, bukan untuk menangkapnya. Saya julurkan tangan saya sebagai ungkapan persahabatan, pada mulanya, ia agak enggan saya dekati, semakin dekat, ia menggigit tangan saya, ternyata tidak sakit, atau ia melakukannya dengan tidak seluruh kekuatannya, saya rasa gigitan itu sebagai ungkapan kepercayaannya kepada saya dan membalas rasa persahabatan saya kepadanya.

Lalu saya berusaha meraih kepalanya, ia masih menggigit jari-jari saya, sebagai sikap protes atas tindakan saya yang melampaui batas kepatutannya kepada gagak tersebut. Beberapa kali saya coba, dan beberapa kali ia menggigit, ia menyerah. Saya berhasil mengelus kepalanya, dan ia ternyata mengeti kalau saya tidak berusaha menangkapnya melainkan mencoba memberi saling rasa pengertian antara saya dengan dia. Jadi ia diam saja ketika saya memeriksa bagian tubuh lainnya, ini saya lakukan, apakah ia bertindak mendekati saya untuk meminta bantuan saya karena ia mengalami luka atau ia hanya sekedar menyapa saya dan bermain-main dengan saya. Ternyata tidak ada satu luka sedikit pun di tubuhnya. Saya baru tahu, ternyata di luar bulunya yang hitam semua, sampai ujung kaki dan paruhnya, di balik bulu-bulu hitam itu melapis bulu-bulu putih di dalamnya. Di mana anggapan semua orang seluruh bulu burung gagak adalah hitam semua, tidak dengan gagak yang menyapa saya sore itu. Tidak memakan waktu banyak mengenai kedekatan kami, ia sudah mempercayai saya sebagai seorang sahabat, begitu juga sebaliknya. Saya melakukannya persis seperti yang saya lakukan ketika saya bertemu dengan ular kemarin sore. Saya memberi isyarat kalau saya tidak akan berusaha menyakitinya, dan itu berhasil, hasilnya sama seperti yang saya lakukan dengan gagak yang menghampiri saya.

Saya tidak habis pikir, sebenarnya pertanda apa yang coba diberitahukan Tuhan kepada saya dengan membuat kedua binatang itu menghampiri saya, memang tidak ada yang melihat saya melakukannya, kecuali ibu saya ketika saya sedang bermain dengan burung gagak itu, tapi ia tidak berkata apa-apa sementara saya asyik bercengkrama dengan burung yang konon sulit sekali ditangkap, sore itu ia malah mendatangi saya dan bermain dengan saya. Sesungguhnya dengan bertemu dengan kedua binatang itu saja saya sudah sangat bersyukur sekali, karena melalui kedua binatang itu saya mampu berinteraksi dengan kehidupan liar di sekitar saya tanpa bersusah payah dan membayar ongkos yang mahal. Saya menyetuh burung liar itu gratis dan bersahaja. Bahkan ketika adzan maghrib sudah berkumandang, burung gagak itu masih saja mengikuti saya, sebagai ungkapan ia belum puas bercengkrama dengan saya. Saya hanya tersenyum, ia diam saja, kemudian ia berlalu terbang. Saya tidak tahu apakah saya akan bertemu kembali dengan burung itu atau tidak. Yang pasti, saya akan tetap mengingatnya sebagai salah satu teman dan sahabat, begitu juga dengan ular yang saya temui. Dengan jarak yang terlalu dekat, kami memberi saling pengertian untuk tidak menyakiti satu sama lain. Ular itu tidak menggigit saya dan saya tidak membunuhnya.

Dan saya senang, telah bersahabat dengan kedua binatang tersebut. Jika gagak itu kembali bertandang, saya akan menghadiahinya sepotong roti. Dan ia mungkin akan memberikan kepercayaannya kembali kepada saya sebagai seorang kawan. Saya rasa itu cukup adil. (kisah ini nyata saya alami, 21-22 maret 2009)

Tinggalkan komentar