Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Posts Tagged ‘derajat’

Anjing!

Posted by permanas pada 4 Maret 2009

Saya teringat waktu saya kecil dahulu, sebegitu takutnya saya dengan binatang yang bernama dasar anjing itu, setiap saya melihat binatang itu dari jauh saya sudah tunggang langang menghindarinya. Saya tidak tahu di mana awal letak ketakutan saya kepada binatang yang satu itu. Satu kali, ketika saya sedang bermain keliling kampung dengan teman-teman sebaya saya, tanpa sengaja saya berpapasan dengan binatang tersebut. Sontak, tanpa berpikir panjang kaki saya refleks meloncat dan tubuh saya secara otomatis berbalik dan membawa lari diri saya tanpa saya suruh untuk berlari ketika itu.

Memang dasar naluri Anjing yang memang kekuatannya tidak perlu disangsikan lagi, ia pun lantas mengejar saya dengan suatu alasan yang saya kira anjing itu pun tidak mengerti mengapa ia mengejar saya. Lha, kronologisnya kan saya lari tanpa pikir panjang ketika melihat binatang yang membuat saya menjadi phobia itu, dan binatang itu juga lari mengejar saya karena melihat saya lari ketika melihat dia.

Ada semacam kelucuan secara realitas ketika saya dewasa dan ingatan itu tidak pernah lepas dari diri saya, di mana posisi saya menjadi si terkejar yang notabenenya adalah saya yang menghindari binatang tersebut menjadi realitas yang tidak tertanggungkan pada saat binatang itu dengan kecepatan yang sama berlari di belakang saya dengan minat yang setara dengan saya. Di mana minat saya adalah menghindari sejauh mungkin dari binatang yang ada di belakang saya dan minat si anjing yang sekarang menjadi tokoh sentral yang mengejar saya dengan minat berlari sedekat mungkin dengan diri saya yang menghindar untuk menjauh darinya.

Woy, berhenti, jangan lari!” teriak si pemilik binatang peliharaan yang tengah mengejar saya yang saya rasa sudah melebihi seratus meter menurut perkiraan saya ketika itu. Saya jadi berpikir, ia menyerukan jangan lari entah kepada saya atau kepada si anjing sebagai binatang peliharaannya. Pada keadaan demikian tidak mungkin saya menyuruh tubuh saya mengerem mendadak dan menghadapi kemungkinan kaki saya akan menjadi santapan binatang peliharaan orang yang berteriak tadi. Jadi, saya mengesampingkan arti teriakan itu dan tetap berlari berusaha menghindari kejaran binatang tersebut.

Justru yang secara otomatis berhenti adalah anjing peliharaan orang yang berteriak itu. Saya sempat menoleh sebentar tanpa mengurangi kecepatan saya berlari, binatang itu menghentikan larinya dengan nafas tersengal komplit dengan kebiasaanya yaitu menjulurkan lidahnya keluar sambil menatap diri saya yang semakin menjauh, yang saya rasa ia masih berkeinginan mengejar saya tanpa tahu pasti apa yang diinginkannya dari saya, sementara saya berlari adalah untuk menghindarinya sejauh mungkin.

Setelah saya dewasa, dan ketika mengingat peristiwa tersebut, saya mencoba memutar kembali film lama itu dalam kepala, dan saya memahaminya. Ternyata di situlah letak kebebasan saya sebagai manusia, meski saya masih kecil dan belum menyadarinya apa itu arti dari kehendak bebas sebagai seorang manusia yang tidak bisa begitu saja diintimidasi dan didominasi oleh pikiran orang lain maupun lingkungannya dalam kondisi apa pun, kemenangan saya adalah saya tidak menuruti perkataan orang yang berteriak untuk berhenti itu meski saya tidak tahu ia menyuruh berhenti kepada saya atau kepada binatang peliharaannya. Yang jelas, saya menolak berhenti berlari dari binatang tersebut. Dan si anjing itu dengan manis duduk dengan patuh sambil melihat saya pergi ketika teriakan itu dilontarkan dan si anjing mengenali suara majikannya (dan mungkin kata ‘berhenti’ sering dilatihkan kepadanya sebagai salah satu latihan untuk patuh dan taat kepada sang majikan).

Sampai saat ini saya masih tetap merasa phobia terhadap anjing, meski tidak se-ekstrem pada saat saya kecil. Kalau saya sedang berjalan dan berpapasan dengan binatang tersebut, saya paling agak sedikit menjauh untuk memberi ruang binatang itu berlalu. Namun, pelajaran dan pengalaman yang telah diberikan pada masa kecil telah memberikan saya kesadaran secara penuh tentang kebebasan saya sebagai manusia, pada situasi apa pun, dalam keadaan benar-benar terjepit sekalipun, saya adalah tetap manusia dengan kebebasan yang seluruhnya berada dalam genggaman saya. Saya tidak akan membiarkan kebebasan saya terengut tanpa mendapat ijin dari saya sendiri, tidak seperti binatang itu, kehendak bebasnya otomatis lumpuh ketika perkataan majikannya menyuruhnya untuk diam. Dan saya bangga, hingga saat ini saya masih memegang kebebasan saya sendiri dan akan tetap mempertahankannya kalau ada yang berusaha untuk merenggut segala kebebasan saya untuk melakukan apa-apa yang saya ingin lakukan, kecuali itu mendapat ijin dari saya dengan beberapa alasan. Karena dengan mengekang kebebasan seseorang berarti melumpuhkan pikirannya dan menyamakan derajat orang tersebut dengan binatang yang sudah mengejar saya itu. Dan saya menolak siapapun yang akan menyamakan saya dengan binatang itu secara harfiah ataupun secara filosofis, saya akan berjuang habis-habisan untuk mempertahankan kebebasan saya sendiri sebagai seorang manusia yang merdeka.

Posted in UNIK | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

WAKTU

Posted by permanas pada 13 Januari 2009

Suatu petang, di warung dekat pinggir jalan, saya tengah duduk berbincang-bincang dengan mereka yang juga sedang menikmati kopi sorenya. Ternyata warung kopi ini dapat menyatukan berbagai macam orang dan pikiran-pikiran mereka, lihat saja, dari yang lehernya berdasi sampai dengan orang seperti saya yang hanya berkaus bolong di sana-sini. Yah, namanya juga pengangguran, walau masih berangka nol besar itu lebih beruntung ketimbang orang yang diturunkan dejaratnya tanpa keinginan dirinya. Karena itu adalah sebuah penyiksaan!

Riuh rendah tawa mereka mengikuti perbincangan tentang isu-isu hangat yang menjadi topik utama atau hanya banyolan ringan terlontar tanpa maksud menyindir siapa-siapa. Kekauan mencair begitu saja biarpun tak ada yang mengenal satu sama lain. Kepenatan setelah kerja menghilang begitu saja dan urat syaraf menjadi cukup kendur, dan saya sepertinya mendapat angin segar untuk mulai mencari-cari kawan yang dapat membantu saya mencarikan lowongan pekerjaan.

“Kopinya tambah, Pak,” kata orang disebelah saya yang sejak datang tadi tidak berkata-kata. Melamun sambil menghisap rokok kereteknya dalam-dalam. Orangnya cukup tua, karena itu rambutnya berselingan antara hitam dan putih serta pipinya agak mengendur seperti mengisahkan perjalanan hidupnya. Sejenak saya termenung memandangi orang itu, entahlah, rasanya saya tertarik begitu saja untuk tetap memperhatikannya. Orang itu langsung menyeruput kopi yang dipesannya setelah pelayan tadi menaruh kopi dihadapannya.

Sedikit demi sedikit keadaan bertambah ramai, maklumlah, sudah saatnya jam pulang kantor. Sementara matahari di atas sana mulai menarik sinarannya dari hamparan langit. Ah, senja ini cukup mendamaikan, tak peduli asap kendaraan dan debu menutupi pemandangan ini, atau lukisan wajah-wajah kelelahan yang memacu dirinya mengejar waktu. Betapa waktu menjadi sangat berharga bagi mereka dan saya hanya menyanggah dagu dan menonton mereka bergelut dengan putaran masa.

“Waktu itu bagaikan pisau, kawan. Kalau kau tidak menggunakannya dengan baik, kau akan terpotong-potong olehnya. Itu sama saja dengan bunuh diri dengan sangat perlahan, dan ketika sadar, kematian sudah akan menjemputmu. Ironis sekali, ironis sekali,” kata lelaki di seberang saya yang sedang berbincang-bincang dengan kawannya. Rasanya perkataan itu membuat saya merasa malu. Kenyataannya, sekarang saya hanya diam menunggu semata-mata kesempatan itu datang tanpa pernah berusaha. Tapi, kenapa mesti malu, bukankah ini hanya sementara sebelum saatnya datang. Sayangnya, semua itu sama saja.

Di sebelah saya orang tua itu masih duduk menghisap rokok dan menyeruput kopi pahitnya yang tinggal setengah. Tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca ingin menangis, seperti ada beban berat terpikul di pundaknya atau ada ganjalan yang menyumbat hatinya. Di kantungnya terselip sebuah bendulan jam terbuat dari perak yang sudah agak kusam. Oleh karena gelisah dengan waktu, saya memberanikan diri untuk menanyakan pukul berapa saat itu kepada orang tua tersebut.

“Maaf, Pak,” kata saya agak malu. “ jam berapa ya, sekarang?” tapi orang tua itu malah menatap saya dengan wajah semakin bingung. Ia lalu mengeluarkan jamnya yang sudah rongsok dan masih menatap saya penuh keanehan.

“Kau lihat saja sendiri,” jawab orang tua itu. Saya bingung, jam rusak kok diperlihatkan kepada saya. Tadinya saya mengira jam tersebut masih berfungsi dengan baik, tapi ternyata jarumnya saja berantakan tidak karuan.

“Lha, kok, jam rusak diperlihatkan kepada saya. Saya kan hanya mau menanyakan pukul berapa sekarang.”

“Iya, tadinya jam tersebut bekerja dengan baik sekali. Tapi karena dulu aku tak pernah menghiraukan waktu, sampai-sampai sekarang aku malah dibuatnya menjadi tua tanpa pernah menjadi apapun. Dan kemarahan memuncak hingga jam milikku satu-satunya yang berharga pun menjadi pecah berantakan karena membendung kemarahan,” jelasnya, lalu mengambil kembali jam bututnya yang tak terasa berada di tangan saya.

“Kemarahan siapa? Apa karena ketuaan yang sekarang ini Bapak menyimpan dendam mendalam kepada diri sendiri karena menyia-nyiakan waktu?”

“Kemarahan siapa? Aku marah pada diriku, kepada hidupku, kepada waktu yang membiarkanku menjadi tua dalam kesendirian dan tak berdaya menghadapi semua itu.” Orang tua itu menundukkan kepalanya, menyembunyikan air mata yang mulai berjatuhan. Kenapa tiba-tiba saya menjadi iba kepada orang tua itu, dan mengingatkan diri saya kalau saya juga belum berbuat sesuatu yang berguna dalam kehidupan ini, kehidupan saya sendiri. Apakah saya akan berakhir seperti orang tua di samping saya itu atau waktu akan memotong-motong saya seperti kata lelaki yang ada di seberang saya itu, benarkah demikian? Tampaknya batin saya mulai mempertanyakan kedudukan saya sendiri dan semakin memberontak.

“Engkau masih muda, jangan seperti aku menjadi tua tanpa pernah berbuat sesuatu. Waktu telah membunuh hidupku. Jangan kau lakukan kesalahan seperti yang pernah kuperbuat. Jalan kehidupanmu masih panjang untuk dilalui, kalau tak kau gunakan dengan semestinya, kaupun akan berakhir seperti diriku. Selamat tinggal,” kata orang tua itu lagi setelah menghabiskan kopi pahitnya dan berlalu begitu saja menelusuri pinggiran jalan.

Saya masih heran mengenai diri orang tua itu. Lantas apa saja yang dilakukannya selama ini sebelum waktu memakannya hidup-hidup. Kesalahan apa yang diperbuatnya sehingga masa tua menjadi tidak berarti, yang seharusnya penuh dengan pengalaman hidup. Aneh memang, waktu memang aneh dalam memunculkan sesuatu, sehingga sayapun tak pernah mengerti apa waktu berjalan atau tidak, berjalan lambat atau cepat, tiba-tiba tanpa sadar saya telah tertinggal jauh dari orang-orang yang selalu bergelut dengan waktu

Saya pun pergi meninggalkan warung kopi itu, mengikuti jejak langkah senja dan mendengarkan suara-suara kesibukan yang masih terus berputar di pinggir jalan itu. Merenungi detik demi detik jarum jam yang tanpa lelah terus berputar. Sambil menelusuri jalan pulang dan sebatang rokok tetap menemani saya melangkahkan kaki dengan sedikit gundah dan selalu bertanya-tanya apa yang mesti saya lakukan.

Orang bijak selalu berkata kalau waktu adalah sejarah perjalanan hidup manusia, dan sejarah adalah perjanjian untuk mereka yang sudah mati, mereka yang masih hidup dan untuk mereka yang belum dilahirkan. Sejarah hidup saya adalah menunggu dengan sia-sia, dan orang tua itu mati dalam sejarah waktu. Saya masih menelusuri pingiran jalan itu, lewati lampu merkuri yang mulai menerangkan sinarannya, sementara hari mulai diselubingi gelap.

“Waktu, ya, waktu. Kenapa kau termenung? Kenapa kau berlari? Sementara aku meneriakkan waktu! Tak bosan aku meneriakkan waktu, dan waktu. Aku adalah waktu, kau adalah waktu, kita semua adalah waktu. Siapapun dapat menjadi Sang Waktu.” Tiba-tiba di persimpangan jalan yang saya lalui ada seorang gila yang meneriakkan isi dari selembar kertas kumal. Entah dari mana ia mendapatkannya. Orang gila saja dapat berbicara tentang waktu. Tapi saya? Ah, orang gila itu lebih beruntung. Hari semakin gelap dan adzan maghrib sudah berkumandang di mesjid-mesjid dan surau. Saya rasa semuanya sudah jelas sekarang.***Gg. Kresna –september 2001

Posted in DARI HATI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »