Saya teringat waktu saya kecil dahulu, sebegitu takutnya saya dengan binatang yang bernama dasar anjing itu, setiap saya melihat binatang itu dari jauh saya sudah tunggang langang menghindarinya. Saya tidak tahu di mana awal letak ketakutan saya kepada binatang yang satu itu. Satu kali, ketika saya sedang bermain keliling kampung dengan teman-teman sebaya saya, tanpa sengaja saya berpapasan dengan binatang tersebut. Sontak, tanpa berpikir panjang kaki saya refleks meloncat dan tubuh saya secara otomatis berbalik dan membawa lari diri saya tanpa saya suruh untuk berlari ketika itu.
Memang dasar naluri Anjing yang memang kekuatannya tidak perlu disangsikan lagi, ia pun lantas mengejar saya dengan suatu alasan yang saya kira anjing itu pun tidak mengerti mengapa ia mengejar saya. Lha, kronologisnya kan saya lari tanpa pikir panjang ketika melihat binatang yang membuat saya menjadi phobia itu, dan binatang itu juga lari mengejar saya karena melihat saya lari ketika melihat dia.
Ada semacam kelucuan secara realitas ketika saya dewasa dan ingatan itu tidak pernah lepas dari diri saya, di mana posisi saya menjadi si terkejar yang notabenenya adalah saya yang menghindari binatang tersebut menjadi realitas yang tidak tertanggungkan pada saat binatang itu dengan kecepatan yang sama berlari di belakang saya dengan minat yang setara dengan saya. Di mana minat saya adalah menghindari sejauh mungkin dari binatang yang ada di belakang saya dan minat si anjing yang sekarang menjadi tokoh sentral yang mengejar saya dengan minat berlari sedekat mungkin dengan diri saya yang menghindar untuk menjauh darinya.
“Woy, berhenti, jangan lari!” teriak si pemilik binatang peliharaan yang tengah mengejar saya yang saya rasa sudah melebihi seratus meter menurut perkiraan saya ketika itu. Saya jadi berpikir, ia menyerukan jangan lari entah kepada saya atau kepada si anjing sebagai binatang peliharaannya. Pada keadaan demikian tidak mungkin saya menyuruh tubuh saya mengerem mendadak dan menghadapi kemungkinan kaki saya akan menjadi santapan binatang peliharaan orang yang berteriak tadi. Jadi, saya mengesampingkan arti teriakan itu dan tetap berlari berusaha menghindari kejaran binatang tersebut.
Justru yang secara otomatis berhenti adalah anjing peliharaan orang yang berteriak itu. Saya sempat menoleh sebentar tanpa mengurangi kecepatan saya berlari, binatang itu menghentikan larinya dengan nafas tersengal komplit dengan kebiasaanya yaitu menjulurkan lidahnya keluar sambil menatap diri saya yang semakin menjauh, yang saya rasa ia masih berkeinginan mengejar saya tanpa tahu pasti apa yang diinginkannya dari saya, sementara saya berlari adalah untuk menghindarinya sejauh mungkin.
Setelah saya dewasa, dan ketika mengingat peristiwa tersebut, saya mencoba memutar kembali film lama itu dalam kepala, dan saya memahaminya. Ternyata di situlah letak kebebasan saya sebagai manusia, meski saya masih kecil dan belum menyadarinya apa itu arti dari kehendak bebas sebagai seorang manusia yang tidak bisa begitu saja diintimidasi dan didominasi oleh pikiran orang lain maupun lingkungannya dalam kondisi apa pun, kemenangan saya adalah saya tidak menuruti perkataan orang yang berteriak untuk berhenti itu meski saya tidak tahu ia menyuruh berhenti kepada saya atau kepada binatang peliharaannya. Yang jelas, saya menolak berhenti berlari dari binatang tersebut. Dan si anjing itu dengan manis duduk dengan patuh sambil melihat saya pergi ketika teriakan itu dilontarkan dan si anjing mengenali suara majikannya (dan mungkin kata ‘berhenti’ sering dilatihkan kepadanya sebagai salah satu latihan untuk patuh dan taat kepada sang majikan).
Sampai saat ini saya masih tetap merasa phobia terhadap anjing, meski tidak se-ekstrem pada saat saya kecil. Kalau saya sedang berjalan dan berpapasan dengan binatang tersebut, saya paling agak sedikit menjauh untuk memberi ruang binatang itu berlalu. Namun, pelajaran dan pengalaman yang telah diberikan pada masa kecil telah memberikan saya kesadaran secara penuh tentang kebebasan saya sebagai manusia, pada situasi apa pun, dalam keadaan benar-benar terjepit sekalipun, saya adalah tetap manusia dengan kebebasan yang seluruhnya berada dalam genggaman saya. Saya tidak akan membiarkan kebebasan saya terengut tanpa mendapat ijin dari saya sendiri, tidak seperti binatang itu, kehendak bebasnya otomatis lumpuh ketika perkataan majikannya menyuruhnya untuk diam. Dan saya bangga, hingga saat ini saya masih memegang kebebasan saya sendiri dan akan tetap mempertahankannya kalau ada yang berusaha untuk merenggut segala kebebasan saya untuk melakukan apa-apa yang saya ingin lakukan, kecuali itu mendapat ijin dari saya dengan beberapa alasan. Karena dengan mengekang kebebasan seseorang berarti melumpuhkan pikirannya dan menyamakan derajat orang tersebut dengan binatang yang sudah mengejar saya itu. Dan saya menolak siapapun yang akan menyamakan saya dengan binatang itu secara harfiah ataupun secara filosofis, saya akan berjuang habis-habisan untuk mempertahankan kebebasan saya sendiri sebagai seorang manusia yang merdeka.