Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Posts Tagged ‘rokok’

PIKIR!

Posted by permanas pada 25 Februari 2009

Pagi yang cukup indah walau panas matahari sangat menyengat kulit, maklumlah, sekarang kan sudah musim kemarau. Jadi ya, sah-sah saja kalau matahari unjuk gigi, yang penting asal jangan unjuk rasa. Wah, bisa-bisa gelap total bumi kita kalau sampai matahari berunjuk rasa. Makanya jangan macam-macam sama alam –bukan Alam yang pelantun ‘Mbah Dukun’ itu lho maksud saya- jangan bisanya hanya memanfaatkan dan merusak saja bisanya, iya toh!

Coba bayangkan kalau langit ini menangis tersedu-sedu dan menjerit sekeras-kerasnya, membuat kita ketakutan dan merasa kita tidak dapat berbuat apa pun selain menatap rumah kita terendam air mata langit yang meluap karena tidak mau berhenti menangisnya menatap hutan-hutan yang gundul cepak seperti bocah lima tahun digunduli lantaran banyak koreng di setiap bagian kepalanya, hehehehe, masa sih bisa seperti itu?

“Lho, bisa saja! Apa sih yang tidak mungkin terjadi di dunia ini?” kata Abah Kirman, tiba-tiba saja ia datang sambil memegang segelas kopi hitam di tangan kanannya dan di sela-sela jari hitamnya terselip sebatang rokok kretek yang tinggal setengah dihisap mulut berbibir tebal itu.

Abah Kirman lalu ikut duduk di sebelah saya yang waktu itu pun sedang asyik menyeruput kopi pagi dan menghisap rokok kretek juga di atas bale-bale depan rumah, sambil menatapi kekaguman keelokan alam raya dan burung-burung ‘emprit’ (burung gereja) terbang bergerombol menghampiri para petani yang sedang memanen hasil jerih payahnya. Lantas burung itu pergi begitu saja sehabis petani-petani itu selesai memanen padinya, gembala kerbau dan kerbaunya yang sama-sama kurus karena stok rumput dan beras menipis di bumi yang katanya subur ini. Sungguh sangat kontras sekali.

“Sruuuuttt!” langsung saja lamunan saya terganggu oleh suara mulut Abah Kirman yang menyeruput kopinya dengan semangat juang itu, maklumlah, Abah Kirman pada jaman dahulu adalah seorang pejuang yang sangat gigih mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu jalannya agak pincang, kakinya yang sebelah kanan tertembus peluru tentara Belanda, untung saja Letnan Sujono menolong dan membawa Abah Kirman ke tempat aman yang jauh dari medan pertempuran setelah akhirnya Letnan Sujono pun gugur dalam pertempuran itu. Sayang, Abah Kirman tidak tahu di mana Letnan Sujono di makamkan.

Dentuman meriam dan bredelan suara senapan mesin milik Belanda itu masih sangat jelas di dalam ingatan Abah Kirman dan mungkin ia akamn masih tetap ingat jasa-jasa Letnan Sujono yang telah menyelamatkannya. Berbagai pertempuran telah dilewatinya, pengalaman-pengalaman pahit dan manis telah direguknya, sekarang ia hanya tinggal menjadi saksi sejarah yang telah terlupakan. Tenggelam dalam lautan sunyi. Kosong.

Saya jadi teringat sesuatu, waktu itu saya tengah duduk di sebuah bus kota jurusan Blok M duduk bagian belakang sebelah pojok kanan, di dalam sebuah bus itu sudah ada yang menunggui seorang pengamen, ia mengenakan kaos berwarna merah gombrong dan bercelana jeans biru langit, memegang sebuah gitar biasa, tapi di bagian depannya ada gambar elang menyorot tajam. Setelah penumpang penuh dan bus memasuki areal jalan tol, barulah pengamen itu membawakan lagunya, ia membawakan lagu berjudul ‘Dust In The Wind’. Wah saya terkesima sekali saat itu, habis suaranya itu lho, mendayu-dayu seperti angin sepoi di pinggir laut.

Pasa saat melantunkan lirik yang berbunyi ‘All we are dust in the wind…. Al we are dust in the wind’, saya sempat berpikir, apa iya ya, kita semua cuma debu di dalam angin. Sebegitu ekstremnya ya? Tak apalah, namanya juga hanya sebuah lagu, yang penting cukup terhibur. Iya ndak?

Dan, pada saat membawakan lagu yang kedua, dia menyanyikan lagu barat lagi, saya pikir mana lagu Indonesianya ya, weleeh…. yo uwis lah, kebanyakan mikir nanti malah tambah ruwet kepala saya. Saya pernah mendengar lagunya, tapi tidak tahu apa judulnya, pasti yang penggemar klasik rock pada tahu semua, apalagi yang suka mendengar radio di M 97 FM (kalau tidak salah sekarang menjadi 95.1 FM deh sebelum ada penertiban gelombang radio) itu yang khusus membawakan lagu-lagu rock era 60 -80 an, kalau saya tidak salah lho ya. Begini lho liriknya –moga-moga tidak salah lagi- ‘If you leaving, close the door, i’m not expecting men here anymore’, selebihnya samar-samar karena suara bus yang menggema di dalam mobil, dan tiba-tiba, ‘When the blind men cry….’ kemudian hilang lagi sampai lagu itu selesai, dan terus mengeluarkan kantong permen dari bagian belakang celana jeansnya, mengedarkan kepada setiap penumpang dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas uang yang disumbangkannya. Setelah keluar dari pintu tol, ia langsung turun untuk kemudian mengejar-ngejar bus lainnya dan mungkin menyanyikan lagu yang sama lagi di sana.

Padahal, sebelum naik bus itu, di terminal Bekasi, saya sempat mengobrol sebentar dengan seseorang yang biasa diam di terminal tersebut, ia juga terbiasa menjadi ‘timer’ bus-bus yang ‘ngetem’ di terminal Bekasi. Sudah tujuh bulan katanya ia bekerja seperti itu, meski dalam hati ingin segera berhenti dari pekerjaan itu. Tapi dia sempat berpikir lagi ingin bekerja apa, sedangkan mencari kerja di jaman sekarang sungguh! Sangat sulit. Ia saja di PHK dari pekerjaannya yang tujuh bulan lalu di tinggalkannya karena alasan pengurangan pegawai. Waduh! Kacau. Lha, saya saja masih nganggur alias tidak punya pekerjaan. Hehehehehe, bener, enggak bo’ong, suer.

Tapi, ya sudahlah, mau dikata apalagi, memang negara sekarang sedang susah. Asal masih bisa makan, bisa merokok, kumpul sama keluarga, itu juga masih bisa menghilangkan ganjalan hati. Asal tidak makan hati.

“Kenapa tidak mau, bukannya makan hati itu baik untuk menambah darah, menambah kesehatan tubuh. Biar tetap segar dan tidak loyo, seperti kamu yang kurus kering,” kata Abah Kirman. Lah ini, makanya jangan salah dengar biar jangan salah paham.
“Kalau itu memang benar, Bah. Tapi yang saya sedang pikirkan bukan itu,” jawab saya sedikit kesal.

“Memang apa yang sedang kau pikirkan? Hidup ini bukan cuma untuk dipikirkan, nikmati saja hidupmu itu. Sudah, jangan pikirkan yang macam-macam atau kau memang sedang memikirkan yang macam-macam.”

“Apa saya sedang terlihat berpikir yang macam-macam?”

“”Oalaaah, nduk, nduk…,” kata Abah Kirman sambil menggelengkan kepalanya lantas berdiri dan pergi meninggalkan saya yang masih terlihat sedikit ndumel itu. Sebenarnya saya tidak kesal, apa yang mesti dikesalkan ya? Mungkin biasalah, dalam menghadapi orang tua seperti Abah Kirman, kakek-kakek berumur 80 tahunan itu dan tampaknya masih terlihat cukup sehat meskipun pendengarannta mulai berkurang dan pikirannya kembali seperti anak kecil –tapi tidak juga ah, seperti yang saya rasakan.-

Dulu Abah Kirman lama tinggal di Klaten, walau ia sendiri berawal dari Jawa Barat, dan sekarang ia menetap di daerah pinggiran kita Jakarta. Kalau saya, wah hubungan saya dengan Abah Kirman saja saya tidak tahu harus mulai dari mana. Pokoknya sulitlah untuk dijelaskan. Turun-temurun, beranak-pinak, turunan lagi, nah, turunan yang setelah turunan itulah mungkin posisi saya bila ditilik dari sudut Abah Kirman. Hehehehe, susah apa ndak? Saya sendiri saja bingung.

“Apanya yang bingung? Tertawa kok sendiri-sendiri, mbok ya, bagi-bagi gitu lho, biar tidak disangka kurang waras,” sambung Iman yang waktu itu tidak sengaja lewat di depan saya dan tengah cengengesan sendirian. Masa sih, saya sudah tidak waras lagi.

“Apa iya, saya sudah gika?”

“Ya, ndak juga.”

“Masa sih?”

“Buktinya kamu menanyakan kepada saya.”

“Lha, bukannya sampeyan yang tadi bilang saya begitu?”

“Lha, masa juga sih, apa iya begitu?”

“Weleh, weleh, weleh….,” kata saya yang nyerocos seperti Si Komo itu yang kalau ia lewat jalanan pasti macet. Untungnya saya bukan Si Komo, jadi tidak perlu membuat jalan sampai macet panjang. Tapi, apa iya, jalan-jalan masih suka macet.

Syukur si Iman itu sudah cepat menyingkir dari hadapan saya, kalau tidak, waaduh, ya, tidak apa-apa juga sih. Memangnya mau saya apakan si Iman itu, tidak baik berbuat kasar apalagi terhadap teman, terlebih terhadap saudara sendiri. Ya, kalau ingin hidup nyaman, enak, damai, tentram, harus bisa begitu. Jangan bisanya dikit-dikit sikut, pukul, jotos. Pantas saja, banyak yang bilang negara kita negara yang garang dan ganas. Yang bilang siapa ya. Untung saya orangnya sangat kalem dan lembut, hehehehe.
Matahari tambah tinggi di atas angkasa, tepat di atas bumi kita, yang kata para ilmuwan dan pengamat lingkungan, ozon di atas atsmosfer kita sudah ‘bolong’ karenapolutan di bumi kita meningkat. Kalau saja langit bisa ditambal, pikir saya, pasti cukup mudah untuk memperbaikinya, iya.

“Nah kan, kamu berpikir yang macam-macam lagi, ingat ini dunia nyata bukan impian yang ada di kepalamu itu, yang kosong seperti tong kosong karena kebanyakan bengong,” kata Abah Kirman dan itu membuatku sedikit kaget. Lha, datangnya saja tiba-tiba, seakan seperti malaikat maut yang datang untuk menjemput, bahkan ia sendiri yang pantas dijemputnnya.

Benar kita tidak punya kekuatan apa-apa di alam semesta ini, seperti kita bergantung pada akar yang lapuk, atau seperti di bawah naungan yang hampa. Meskipun sekarang alam cukup ramah untuk didekati dan kita dapat bercumbu dengannya, tapi bukan mustahil suatu saat ia akan menunjukkan kekuatannya.kalau sudah begitu, kita tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan terus berdoa.

“Sekarang, ayo kita makan. Ayo, jangan terlalu banyak berhayal,itu kurang baik,” kata Abah lagi dan menyadarkanku dari lamunan yang berkepanjangan.

“Ayolah, kalau begitu, mumpung masih bisa makan, hehehehehe….”

Posted in CERPEN | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

WAKTU

Posted by permanas pada 13 Januari 2009

Suatu petang, di warung dekat pinggir jalan, saya tengah duduk berbincang-bincang dengan mereka yang juga sedang menikmati kopi sorenya. Ternyata warung kopi ini dapat menyatukan berbagai macam orang dan pikiran-pikiran mereka, lihat saja, dari yang lehernya berdasi sampai dengan orang seperti saya yang hanya berkaus bolong di sana-sini. Yah, namanya juga pengangguran, walau masih berangka nol besar itu lebih beruntung ketimbang orang yang diturunkan dejaratnya tanpa keinginan dirinya. Karena itu adalah sebuah penyiksaan!

Riuh rendah tawa mereka mengikuti perbincangan tentang isu-isu hangat yang menjadi topik utama atau hanya banyolan ringan terlontar tanpa maksud menyindir siapa-siapa. Kekauan mencair begitu saja biarpun tak ada yang mengenal satu sama lain. Kepenatan setelah kerja menghilang begitu saja dan urat syaraf menjadi cukup kendur, dan saya sepertinya mendapat angin segar untuk mulai mencari-cari kawan yang dapat membantu saya mencarikan lowongan pekerjaan.

“Kopinya tambah, Pak,” kata orang disebelah saya yang sejak datang tadi tidak berkata-kata. Melamun sambil menghisap rokok kereteknya dalam-dalam. Orangnya cukup tua, karena itu rambutnya berselingan antara hitam dan putih serta pipinya agak mengendur seperti mengisahkan perjalanan hidupnya. Sejenak saya termenung memandangi orang itu, entahlah, rasanya saya tertarik begitu saja untuk tetap memperhatikannya. Orang itu langsung menyeruput kopi yang dipesannya setelah pelayan tadi menaruh kopi dihadapannya.

Sedikit demi sedikit keadaan bertambah ramai, maklumlah, sudah saatnya jam pulang kantor. Sementara matahari di atas sana mulai menarik sinarannya dari hamparan langit. Ah, senja ini cukup mendamaikan, tak peduli asap kendaraan dan debu menutupi pemandangan ini, atau lukisan wajah-wajah kelelahan yang memacu dirinya mengejar waktu. Betapa waktu menjadi sangat berharga bagi mereka dan saya hanya menyanggah dagu dan menonton mereka bergelut dengan putaran masa.

“Waktu itu bagaikan pisau, kawan. Kalau kau tidak menggunakannya dengan baik, kau akan terpotong-potong olehnya. Itu sama saja dengan bunuh diri dengan sangat perlahan, dan ketika sadar, kematian sudah akan menjemputmu. Ironis sekali, ironis sekali,” kata lelaki di seberang saya yang sedang berbincang-bincang dengan kawannya. Rasanya perkataan itu membuat saya merasa malu. Kenyataannya, sekarang saya hanya diam menunggu semata-mata kesempatan itu datang tanpa pernah berusaha. Tapi, kenapa mesti malu, bukankah ini hanya sementara sebelum saatnya datang. Sayangnya, semua itu sama saja.

Di sebelah saya orang tua itu masih duduk menghisap rokok dan menyeruput kopi pahitnya yang tinggal setengah. Tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam, matanya berkaca-kaca ingin menangis, seperti ada beban berat terpikul di pundaknya atau ada ganjalan yang menyumbat hatinya. Di kantungnya terselip sebuah bendulan jam terbuat dari perak yang sudah agak kusam. Oleh karena gelisah dengan waktu, saya memberanikan diri untuk menanyakan pukul berapa saat itu kepada orang tua tersebut.

“Maaf, Pak,” kata saya agak malu. “ jam berapa ya, sekarang?” tapi orang tua itu malah menatap saya dengan wajah semakin bingung. Ia lalu mengeluarkan jamnya yang sudah rongsok dan masih menatap saya penuh keanehan.

“Kau lihat saja sendiri,” jawab orang tua itu. Saya bingung, jam rusak kok diperlihatkan kepada saya. Tadinya saya mengira jam tersebut masih berfungsi dengan baik, tapi ternyata jarumnya saja berantakan tidak karuan.

“Lha, kok, jam rusak diperlihatkan kepada saya. Saya kan hanya mau menanyakan pukul berapa sekarang.”

“Iya, tadinya jam tersebut bekerja dengan baik sekali. Tapi karena dulu aku tak pernah menghiraukan waktu, sampai-sampai sekarang aku malah dibuatnya menjadi tua tanpa pernah menjadi apapun. Dan kemarahan memuncak hingga jam milikku satu-satunya yang berharga pun menjadi pecah berantakan karena membendung kemarahan,” jelasnya, lalu mengambil kembali jam bututnya yang tak terasa berada di tangan saya.

“Kemarahan siapa? Apa karena ketuaan yang sekarang ini Bapak menyimpan dendam mendalam kepada diri sendiri karena menyia-nyiakan waktu?”

“Kemarahan siapa? Aku marah pada diriku, kepada hidupku, kepada waktu yang membiarkanku menjadi tua dalam kesendirian dan tak berdaya menghadapi semua itu.” Orang tua itu menundukkan kepalanya, menyembunyikan air mata yang mulai berjatuhan. Kenapa tiba-tiba saya menjadi iba kepada orang tua itu, dan mengingatkan diri saya kalau saya juga belum berbuat sesuatu yang berguna dalam kehidupan ini, kehidupan saya sendiri. Apakah saya akan berakhir seperti orang tua di samping saya itu atau waktu akan memotong-motong saya seperti kata lelaki yang ada di seberang saya itu, benarkah demikian? Tampaknya batin saya mulai mempertanyakan kedudukan saya sendiri dan semakin memberontak.

“Engkau masih muda, jangan seperti aku menjadi tua tanpa pernah berbuat sesuatu. Waktu telah membunuh hidupku. Jangan kau lakukan kesalahan seperti yang pernah kuperbuat. Jalan kehidupanmu masih panjang untuk dilalui, kalau tak kau gunakan dengan semestinya, kaupun akan berakhir seperti diriku. Selamat tinggal,” kata orang tua itu lagi setelah menghabiskan kopi pahitnya dan berlalu begitu saja menelusuri pinggiran jalan.

Saya masih heran mengenai diri orang tua itu. Lantas apa saja yang dilakukannya selama ini sebelum waktu memakannya hidup-hidup. Kesalahan apa yang diperbuatnya sehingga masa tua menjadi tidak berarti, yang seharusnya penuh dengan pengalaman hidup. Aneh memang, waktu memang aneh dalam memunculkan sesuatu, sehingga sayapun tak pernah mengerti apa waktu berjalan atau tidak, berjalan lambat atau cepat, tiba-tiba tanpa sadar saya telah tertinggal jauh dari orang-orang yang selalu bergelut dengan waktu

Saya pun pergi meninggalkan warung kopi itu, mengikuti jejak langkah senja dan mendengarkan suara-suara kesibukan yang masih terus berputar di pinggir jalan itu. Merenungi detik demi detik jarum jam yang tanpa lelah terus berputar. Sambil menelusuri jalan pulang dan sebatang rokok tetap menemani saya melangkahkan kaki dengan sedikit gundah dan selalu bertanya-tanya apa yang mesti saya lakukan.

Orang bijak selalu berkata kalau waktu adalah sejarah perjalanan hidup manusia, dan sejarah adalah perjanjian untuk mereka yang sudah mati, mereka yang masih hidup dan untuk mereka yang belum dilahirkan. Sejarah hidup saya adalah menunggu dengan sia-sia, dan orang tua itu mati dalam sejarah waktu. Saya masih menelusuri pingiran jalan itu, lewati lampu merkuri yang mulai menerangkan sinarannya, sementara hari mulai diselubingi gelap.

“Waktu, ya, waktu. Kenapa kau termenung? Kenapa kau berlari? Sementara aku meneriakkan waktu! Tak bosan aku meneriakkan waktu, dan waktu. Aku adalah waktu, kau adalah waktu, kita semua adalah waktu. Siapapun dapat menjadi Sang Waktu.” Tiba-tiba di persimpangan jalan yang saya lalui ada seorang gila yang meneriakkan isi dari selembar kertas kumal. Entah dari mana ia mendapatkannya. Orang gila saja dapat berbicara tentang waktu. Tapi saya? Ah, orang gila itu lebih beruntung. Hari semakin gelap dan adzan maghrib sudah berkumandang di mesjid-mesjid dan surau. Saya rasa semuanya sudah jelas sekarang.***Gg. Kresna –september 2001

Posted in DARI HATI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Somplak

Posted by permanas pada 14 Agustus 2008

Kalau mau dipikir-pikir, apa sih hidup itu, apa maunya, apa sih yang kita cari di sini, dunia ini. Lho, kan setiap orang punya kehendaknya masing-masing, masak ya mau dipaksakan begitu. Boleh saja kalau punya pikiran itu, kalau mau diperkarakan mestinya harus dipertanyakan kepada diri sendiri, apakah merugikan orang lain atau tidak, syukur-syukur imbasnya tidak kepada diri sendiri, pun yang ada di sekitar kita.masalahnya kan hanya berguna atau tidak berguna. Itu saja kok. Apa susahnya punya pikiran seperti itu.

“Jadi orang itu mesti kritis lho, Kar, supaya tidak gampang dikibuli, dibohongi. Setidaknya kita mampu mendeteksi gejala-gejalanya agar virus tidak menyebar kemana-mana, supaya sekitar kita tidak gampang lekas sakit,” kata Eyang Samijo. Rokok lintingannya masih mengepul-ngepul di sekitar bibir hitam dan diantara kulit wajah Eyang Samijo yang legam. Masih saja hayalan itu mengawang-awang ke sana, saying tetap akan berhenti di sana, tidak di tempat lain dan waktu yang juga lain. Butek, keruh, hitam, busuk, sama seperti air di pinggir kali. Apa iya seperti itu ya?

“Masak sih, Eyang? Kalau begitu, jangan-jangan malahan kepulan asap rokok lintingan Eyang yang meracuni semua udara di sini, pengap!” jawabku enteng. Ia sendiri yang memproklamirkan supaya berpikir demikian. Jadi ya mau tidak mau ia juga harus mampu menerima konsekuensi dari perkataannya itu. Habis mau apa lagi, membantah tidak bisa, nanti katanya melawan, berontak, kurang ajar, tidak tahu sopan santun, dan entah apalagi embel-embel yang nyangkut di belakang kata-kata itu. Jangan-jangan malah memang seperti itu kejadiannya. Bisa repot jadinya nanti. Waduh! Bisa kacau ini.

“Ya ndak mesti gitu juga, Karyo, masak aku harus sumpal mulutmu itu. Ya ndak bisa seperti demikian.”

“Oooo…, syukurlah kalau begitu, Eyang Samijo.”

“Lagipula aku juga tidak ingin kalau mulutku ikut-ikutan disumpal. Lha, nanti aku tidak bisa menghisap lintingan daun kaung ini, bagaimana hayo?”

“Ya, jangan mengganggu udara sekitar dong, Eyang. Kasihan kan cucumu ini, datang jauh-jauh cuma buat merusak paru-paru. Kalau untuk itu sih tidak usah datang kemari. Jakarta saja sudah lebih dari cukup.”

“Masak?” masih lintingan itu bermain di mulutnya.

“Tidak usah diragukan lagi, Eyang. Mulut Eyang itu lebih kalah daripada bibir knalpot bus yang sudah kayak kaleng krupuk itu tapi untungnya masih bisa ngangkut siapa pun yang rela berdesak-desakan untuk bisa mendapat tempat duduk yang murah. Asal sampai tujuan pun juga sudah untung. Ketimbang bayar mahal tapi simpanan dapur kependel sama itu ongkos. Wah, bisa-bisa isteri cucumu ini kebakaran jenggot, Eyang.”

“Lha, memangnya isterimu punya jenggot apa?”

“Ya, ndak mesti juga seperti itu, Eyang. Masak seperti tidak tahu pepatah saja. Memangnya unur lanjut itu digunakan untuk apa saja sampai kias semudah itu tidak bisa dimengerti.”

“Bukan karena usia sudah melar he, Karyo. Meski ada benarnya.”

“Nah, ngaku kan?”

“Juga bukan hanya itu saja masalahnya, Eyangmu ini kan sudah melewati masa-masa yang begitu panjang dan melelahkan. Jadi segala ingatan itu mesti diproses lebih dahulu, biar lambat tapi memang begitu untuk ukuran kepala yang katamu itu sudah tidak layak pakai yang justru untuk mengenang kembali semua ingatan-ingatan masa lampau itu di saat sekaranglah untuk diingat-ingat lagi. Tapi bukan sebagai seseorang yang kembali menjadi anak kecil, setidaknya kembali kepada kesadaran bahwa semua itu telah jauh terlewati.”

“Apa itu?”

“Ya, masa-masa yang telah lalu. Sekarang malah kau sendiri yang menanyakan dan jangan berpikiran kalau aku sudah pikun ya, tidak baik. Ingatanku ini masih baik-baik saja. Setidaknya begitulah menurutku.”

“Ya, terserah Eyang sajalah,” jawabku. Eyang Samijo hampir mengeluarkan seluruh bola matanya, apa ia ingin marah atau hanya ingin menegaskan lebih jaul lagi ya, sayangnya aku tidak mau ambil pusing. Karena sudah kepuru pusing, lebih baik berdamai dan tidak perlu perang mulut yang berkepanjangan yang malah nantinya bisa menjadi perang dingin, a lot dan memuakkan. Terlalu banyak urat leher tertarik yang malah nantinya bisa bertambah panjang urusan dan mengundang penyakit yang serba parah dan serba salah. Malah mungkin serba salah kaprah. Mengingat jaman sekarang banyak penyakit yang tidak tahu asal mulanya, bahkan dengan obat yang sama sekali sukar ditemukan. “Tapi Eyang jangan marah seperti itu, cucumu ini tidak secara sengaja mencoba untuk meledek atau sesuatu hal yang seperti itu, sama sekali tidak terlintas pikiran itu,” kataku. Sayangnya pikiran nakal dalam kepalaku juga tidak mau mengalah dan malah semakin menjadi-jadi hingga pada suatu saat kosong terlintas pikiran kalau eyangku ternyata terlalu kolot pikirannya, sudah ketinggalan jaman, tidak layak pakai, meski ia bersembunyi dengan dalih kalau pikirannya baik-baik saja, dan memang akan baik-baik saja sejauh menurut pengertiannya yang tidak pernah mau mengerti urusan jaman sekarang yang tahunya hanya urusan jaman dulu saja. Huh! Dasarnya saja memang kolot ya, akan tetap kolot meski bagaimana pun corak yang dipertontonkannya.

Justru sayangnya, ternyata di sinilah letak akal permasalahannya yang sudah menjadi musuh bebuyutan sejak dulu yang ternyata juga adalah tepat di depan mata dan belum tentu semua orang dapat melihatnya. Sayang Eyang masih juga tetap pada tempatnya berpijak, kalau saja ia mau sedikit melangkah maju barang sebentar dan melihat keluar, betapa dunia itu sekarang tidak seperti pada masanya ia melihat dalam bayangan ingatannya. Aku cuma, seandainya diperkenankan di hadapan eyangku dan juga seandainya ia juga tidak berkurang pendengarannya, ingin aku berteriak kalau “DUNIA SUDAH SANGAT JAUH BERUBAH, EYANG. JADI SADARLAH!” untung itu tidak kulakukan. Lha, memangnya aku cucu seperti apa berlaku seperti itu terhadap orang tua, meski kadang sikapnya bisa sangat menjengkelkan sekali.

“Jangan berteriak, aku masih sanggup mendengar, biar sudah berkurang pendengaranku tapi masih cukup peka untuk menangkap bisikan-bisikan itu. Hati-hati saja, telinga ini masih berfungsi, mataku masih awas, biar sedikit rabun tapi masih dapat melihat lubang jarum dalam matamu he, orang muda. Dasar anak jaman sekarang,” kata Eyang Samijo. Aduh sekali lagi ia membuat lintingan baru, pasti sebentar lagi lintingan kaung itu akan lumat di bibirnya.

“Bukannya ndak mau mengalah, Eyang, tapi kalau ada pikiran yang rasa-rasanya menyimpang daripada kebenaran apa salahnya kan kalau diluruskan. Biar itu butuh keberanian dan dapat saja dianggap berontak, untuk kebenaran apa salahnya sedikit mengalah begitu lho,” jawabku. Ah, benar saja, rokok kaung itu kembali menguap dan asapnya memenuhi seluruh ruangan. Sepertinya aku sesak nafas atau ruangan ini seperti kamar gas yang sengaja khusus disiapkan hanya untukku saja. Aduh, sial. Lagi-lagi aku tidak bisa menghirup udara segar.

“Kalau ndak suka, keluar saja. Toh, di sana ada banyak udara yang kau butuhkan,” Eyang Samijo menasehati.

“Seharusnya Eyang saja yang berhenti menghisap barang seperti itu, tidak baik, merusak paru-paru, lingkungan dan entah apa lagi yang dapat ditimbulkan olehnya.”

“Kalau aku berhenti akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan mereka, kalau tidak ada orang seperti aku ini, rumah-rumah sakit dan toko-toko obat akan sepi pembeli. Kamu sendiri yang bilang kalau mencari pekerjaan di jaman sekarang benar-benar sulit, bahkan ada rumor segala yang mengatakan kalau tidak ada koneksi atau kerabat dekat tidak mendapat pekerjaan, benar ndak?”

“Waduh, kena pukulan balik aku, lihai juga Eyang Samijo,” pikirku dalam hati.

“Benar ndak he, Karyo?” tanya Eyang Samijo lagi melihatku hanya melamun saja memikirkan apa yang barusan dikatakan oleh Eyang Samijo. Ada benarnya juga tidak ada benarnya lamunku lagi. Tidak memandang Eyang, biar ia tetap serius memperhatikanku.

“Entahlah, Eyang, saya tidak bisa menjawabnya untuk sementara. Atau memang dunia ini sudah kacau, atau seperti ember somplak yang sudah tidak dapat lagi ditambal.”

“Hah, kalau begitu itu urusanmu sekarang untuk meneruskan dunia ini. Masaku tinggal hanya menunggu sambil menonton. Terakhir yang kuingat dan terus menerus menjadi mimpi yang juga akan menghantui sisa hidupku kalau aku akan berakhir hanya pada sebuah lubang dan di atasnya tertancap batu nisan yang bertuliskan ‘bukan siapa-siapa’, bereskan,” kata Eyang Samijo sambil tersenyum dan matanya berkaca-kaca.

“Mati aku!”***permanas 170105

Posted in CERPEN | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »