Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Posts Tagged ‘taman’

Labirin

Posted by permanas pada 14 Oktober 2008

Jalan itu terlalu berliku, seperti labirin-labirin yang disediakan untukku, salah melangkah maka aku akan menemukan diriku tidak ada di mana-mana dan satu-satunya yang kutahu kalau aku telah tersesat. Aku tidak tahu apakah aku salah langkah, atau sesuatu telah membuatku tidak bisa melihat jalan mana yang harus kutempuh, untuk kulalui. Tapi begitulah aku sekarang, aku tersesat.

Aku tidak menyesal, tidak mengeluh, itu hanya akan membuat kenyataan semakin berat untuk aku lalui. ‘Ayo, langkahkan kakimu kembali, telusuri apa yang telah kau mulai. Laki-laki dinilai dengan apa yang telah ia selesaikan, bukan dari apa yang telah dimulainya. Jika tidak, kau akan menemukan dirimu bukan siapa-siapa kelak.’ Ah, batin itu terus memburuku. Ia membakarku, menyemangatiku, jangan tumbang ditengah jalan. Penderitaan adalah pahat yang akan membentuk seseorang menjadi manusia sejati, manusia yang tidak kalah. Aku tidak ingin dikalahkan kehidupanku sendiri, tidak, itu tidak akan terjadi.

Biarlah mereka tertawa, itu hak mereka, dan aku menghormati mereka. Dengan sendirinya, mereka telah menjadi bahan bakar semangatku untuk terus bergolak, mendidih. Baiklah, ada yang harus aku selesaikan sekarang. Aku tidak ingin dikalahkan labirin-labirin sialan itu. Kembali aku merunut jalan yang telah aku lalui sebelumnya, setidaknya aku telah melihat kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Jika mengulanginya, maka aku adalah ikan yang bodoh terpancing dua kali dengan umpan yang sama.

Benar saja, aku keluar satu gang dari sebelumnya, gang itu terlalu sempit, ia hampir saja membuat tubuhku sesak ketika melewatinya. Keluar dari sana membuat hatiku gembira. Tapi perjalanan belum selesai. Hah, mana ada pekerjaan yang telah selesai? Ia hanya satu babak dari sekian babak yang belum dimainkan.

“Kau mau pilih jalan yang mana untuk kau lalui?” seseorang mendesakku tiba-tiba. Tentu saja aku terperanjat, rasa-rasanya ia tidak ada dalam mataku sejak tadi. Aku hanya melihat lorong-lorong yang harus kutiti. Aku mencari jalan keluar, tapi ia malah membuatku semakin ragu dengan pilihanku, pertanyaannya menyesatkan.

“Entahlah,” akhirnya aku jawab pertanyaan itu. Aku menyembunyikan perasaanku darinya. Malah terkesan aku melindunginya dari orang tersebut.

“Ragu?” tanyanya lagi.

“Mungkin saja, tapi aku belum memilih.”

“Apa yang harus kau pilih?”

“Jalan itu. Apa kau tidak lihat? Kau sendiri bertanya jalan mana yang harus kupilih.”

“Itulah masalahnya. Karena ragu memilih, aku malah terlantar di sini begitu lama. Aku takut dengan apa yang harus kupilih,” jawab orang itu. Aku tidak tahu apakah nada suaranya terkesan menyesal atau bingung. Malah dia yang sekarang ragu-ragu. Ia tidak berani melangkah karena takut dengan konsekuensi dari pilihannya.

“Sehebat itukah?” tanyaku penasaran.

“Bisa saja seperti itu. Buktinya, aku masih belum berani memilih sampai sekarang, sampai seseorang juga ikut tersesat. Kau. Berdua kita sekarang.”

“Tidak, tidak, aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Bukankah kau akan menyia-nyiakan waktumu hanya terus berpikir dengan jalan mana yang harus kau lalui. Hah, hidup itu bukan hanya sekedar pilihan-pilihan, tapi bagaimana terus menjalankan pilihan itu agar tidak berhenti di tengah jalan. Berapa banyak orang yang berhenti setelah memilih?”

“Terlalu banyak, kawan, terlalu banyak.”

“Dan berapa banyak orang yang terus yakin dengan pilihannya dan menyelesaikan apa yang telah dipilihnya itu?”

“Terlalu sedikit yang bertahan dan sampai menemukan akhirnya, akhir yang menyenangkan karena apapun yang terjadi mereka menyelesaikan pilihan mereka. Kau benar, aku tidak tahu mana yang harus kupilih.”

“Aku tidak bisa menjawabnya.”

“Aku tidak meminta.”

“Aku hanya yakin dengan apa yang kupilih.”

“Apa aku harus ragu?”

“Tidak tahu. Hati orang siapa yang bisa menebak.”

“Tidak ada, tidak kau.”

Sepertinya sudah takdir manusia harus menjalani sendiri dengan pilihannya dan terus berjuang dengan gelombang yang dahsyat. Timbul dan tenggelam, itu adalah hal biasa dalam mengarungi kehidupan. Yang karam, mungkin orang yang tidak terlalu beruntung dengan pilihannya. Tapi aku tetap menghormatinya, ia karam dengan keyakinan yang kuat bahwa ia akan mampu menyelesaikan apa yang sudah dipilihnya. Akhirnya aku memilih jalanku sendiri, mungkin aku akan kesepian, merasa sendiri. Tapi mengayuh perahuku ke tengah lautan dengan ombak dan kedalaman yang sukar ditentukan sudah menjadi tekadku, aku tidak bisa mundur lagi, aku terima konsekuensi dengan keberuntungan, atau mungkin karam. Tapi aku telah memilih, bukan. Dan aku meninggalkan orang yang menegurku tadi dipersimpangan, dari kejauhan ia tetap terlihat kaku dan ragu.

*** ***

Aku rindu tempatku biasa berada, kau tahu, taman di mana selalu aku melakukan kesendirianku. Mengejar kupu-kupu dalam imajiku seperti aku benar-benar melakukannya. Biar nyatanya aku hanya diam menatap ruang kosong. Aku baru saja mengarungi lautan itu dan labirin-labirin itu tidak mampu mengalahkan diriku. Aku teguh (ah, mungkin aku tidak berkata jujur) tidak, tidak, aku tidak seteguh karang, biar aku masih sanggup berdiri tegak, sesuatu telah melukaiku. Dan ternyata, aku masih sanggup berdiri!

“Bagaimana kau masih bisa berdiri sementara kakimu penuh dengan luka-luka. Aku tidak bisa membayangkan keperihan yang kau rasakan.” Sesuatu berbisik, aku tidak tahu siapa yang bicara. Atau mungkin itu bayanganku sendiri, atau sesuatu telah menghentak.

“Aku tidak tahu. Aku hanya paksa saja kakiku untuk tetap bisa menopang tubuh kurusku. Tapi biarlah, kesakitan adalah obat mujarab untuk tetap bertahan. Dan sekarang, mungkin angin itu akan segera kulawan kalau ia telah berubah menjadi badai.”

“Bagaimana kau akan melakukannya. Puing-puing akan menghantammu dengan keras sekali. Bongkahan-bongkahan karang yang terlontar dari tebing-tebing waktu akan mengiris dan mengoyak daging yang melekat pada tulangmu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kau akan tetap mampu berdiri setelahnya.”

“Aku akan tetap berdiri. Jika aku tumbang, setidaknya, keyakinanku masih berdiri di atas diriku. Tubuhku kalah, tidak dengan keyakinanku, sobat.”

*** ***

Bagaimana harus kukatakan sekarang, kata-kata itu merubah dirinya menjadi tombak dengan rentang yang sangat panjang, mata pisaunya mengecohkan dengan benagn-benang merumbai, ia hampir saja melukaiku, karena benang-benang berwarna merah itu menipu pandangan. Aku tidak tahu harus bilang apa, gemuruh yang bergejolak dalam dada tidak lagi berupa badai, ia telah berubah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan daripada sekedar awan yang mengandung angin dan listrik.

Dan, akhirnya, ketika aku bilang kalau aku masih sanggup berdiri dengan luka-luka yang kusembunyikan. Dalam bilik kesunyianku, aku takut kalau aku telah kalah. Itu akan memukul dan menamparku dengan hebat. Aku bukan manusia kalah, tidak, aku tidak ingin dikalahkan begitu saja tanpa perjuangan. Aku tidak ingin menjadi manusia yang biasa-biasa saja, aku tidak ingin seperti apa adanya. Dan, labirin mungkin telah menyesatkan pikiranku. Aku tidak ingin pasrah, aku ingin melawan, aku ingin dilawan. Bila aku tumbang, aku ingin tumbang dalam keadaan berjuang. Labirin-labirin itu mungkin telah membunuh tubuhku, tidak dengan jiwa dan pikiranku.****permanas.

Posted in DARI HATI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | 3 Comments »

peziarah

Posted by permanas pada 9 Oktober 2008

aku ini hanyalah seorang peziarah

yang tersesat

ke taman jingga

milik orang lain

lebah-lebah itu pun

saling berebut hinggap

pada rekah kelopak.

aku ini hanyalah seorang penyaksi

kau tersenyum

dan mereka tunduk

kau harus bangga

aku ini hanyalah seorang penyaksi;

kubilang padamu.***kampung melayu/pedati/09.10.08/buat a.p.r

Posted in PUISI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »