Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Posts Tagged ‘langkah’

Waktu aku bimbang

Posted by permanas pada 20 Oktober 2008

Pada waktu aku bimbang, sebenarnya aku mundur satu langkah untuk melihat apa sebenarnya yang telah membuatku menjadi seperti itu. Siapa sih yang tidak punya masalah dalam hidupnya? Tidak ada orang yang tidak punya masalah, itu adalah jawaban yang aku temukan. Memangnya siapa sih yang tidak memiliki permasalahan. Malah aku rasa, suatu masalah membuat seseorang menjadi mengetahui seberapa bagus kualitas kehidupannya, tentu dilihat seberapa cakap ia bisa menyelesaikannya, bukan.

Dan ketika rasa bimbang itu tidak kunjung padam, aku kira, aku salah dengan cara penyelesaian yang aku pilih. Ya, satu-satunya jalan adalah mencari jalan lain, hehehe, gampang kan?

Rasa bimbang sebenarnya adalah suatu indikasi ketika kita tengah berada dalam dua jalan, dua pilihan, dan sayangnya, kita tidak bisa memilih kedua jalan tersebut. Ibaratnya, makan buah simalakama. Daripada tidak dimakan, lapar, tidak tahu rasanya, aku sih pilih, makan saja sekalian buah itu. Ya, sayangkan, sudah nemu buah, tapi tidak dimakan. Hahaha, hanya berkelakar saja. Aku sering bilang, kan, hidup itu terlalu berharga kalau hanya diisi dengan kemuraman saja, apalagi kebuntuan hidup. Kadang aku juga merasakannya sih, menemukan jalan buntu dalam hidup memang sangat menyebalkan. Hei, kabar baiknya, akan selalu ada jalan yang bisa membuat kita keluar dari jalan buntu tersebut. Tapi jangan gelap mata dengan berbuat kejahatan, ya. (meski bagi sebagian orang itu adalah jalan keluar –atau jalan pintas). Orang bijak bilang, kalau kau jadi alat tempa, bersabarlah. Kalau kau jadi palu, hantamlah. Kalau satu-satunya alat yang kau punyai hanya martil, maka semua masalah akan tampak seperti paku. Ya, hajar saja! Bukan dengan memukul orang yang membuat kita bermasalah ya, salah itu. Maksudnya ’hajar’ di sini adalah menyelesaikan segala masalah dan kebimbangan dengan cara-cara yang bermartabat dan beradab Hahaha…. ya, tidak berlu grasak-grusuk, lho. Ketenangan dalam bertindak adalah kunci utamanya. Bimbang adalah situasi di mana kita diharuskan memilih atau tidak memilih sama sekali. Padahal kalau dipikir-pikir tidak memilih saja berarti sudah memilih. Ya, memilih untuk tidak memilih. Segampang itu.

Suatu ketika, seseorang bertanya padaku, pilih mana logika atau kata hati? Lantas aku jawab begini, bahwa kedua-duanya sama penting, yang satu melengkapi yang lain. Tapi kalau aku lebih condong untuk memilih kata hati, kenapa, entah kenapa naluri lebih bisa diandalkan daripada logika, meski logika adalah cara pikir yang patut diperhitungkan. Tapi ya itu tadi, kadang naluri seseorang lebih kuat daripada logika yang dimilikinya. Ambil contoh begini, kita tengah berada di padang pasir yang menurut logika tidak mungkin sama sekali kalau kita menggali semeter di tempat kita berdiri akan keluar air, andaikan saja kita di sebuah bukit pasir yang rasanya semua daratan hanyalah pasir, lainnya tidak. Tapi naluriku kuat mengatakan, dan dengan keyakinan yang sangat, bahwa kalau aku menggali di tempat ini akan keluar air. Mungkin logika akan merana ketika aku menggali dan benar-benar keluar air. Itulah kelebihan dari naluri. Naluri membuat seseorang mampu bertahan hidup dari apapun dan dimanapun ia berada. Logika juga patut diperhitungkan, bukan maksud aku untuk menjatuhkan logika, sama sekali bukan itu maksudku, juga dengan orang yang bertanya kepadaku, aku hanya ingin mengatakan, bagiku, naluri bisa lebih aku andalkan, meski adakalanya meleset! Karena itu, biasanya aku malah menggabungkan keduanya andaikata kalau aku menemukan suatu pilihan yang rumit dan tidak satupun lebih condong, antara logika dan naluri, maka aku menggabungkan keduanya untuk membuat suatu pilihan atau keputusan. Mungkin dengan jalan seperti itu aku bisa menghilangkan kebimbangan-kebimbangan yang kurasakan dalam menjalani kehidupan.

Tapi, orang yang bertanya itu kembali bertanya setelah aku mengemukakan jawabanku. Kenapa orang hidup mesti memilih? Aku tertawa sendiri, meski aku tidak tahu dimana letak kelucuannya, tapi ya itu, aku tertawa sendiri. Yah, bukannya hidup itu adalah masalah pilihan, kau memilih jadi orang baik, maka kau akan menjadi otrang baik, kau memilih jahat, seketika saja kau telah menjadi jaha, kau tidak memilih menjadi apa-apa, maka kau bukan apa-apa. Hidup memberi pilihan, dan kita memilih. Kita akan menjadi ’siapa’ atau si ’apa’ itu tergantung bagaimana kita memilih jalan hidup kita. Kalau aku memilih menjadi orang baik, maka aku akan menjadi orang baik sesuai dengan keinginanku meski ada kemungkinan kalau aku bisa menjadi bisa tidak baik. Begini, kalau kita menanam rumput tidak mungkin kita mengharapkan bisa memanen padi. Kalau kita menanam padi, bisa saja di sela-selanya dapat tumbuh rumput, selain kita bisa memanen padi sebagai hasilnya. Dengan kata lain, meski kita memilih menjadi baik selalu ada kemungkinan sifat-sifat yang tidak baik menyertai perjalanan kita untuk menjadi tidak baik. Hanya, seberapa tahan kita mengekang sikap tidak baik itu dalam kehidupan. Kita tidak bisa membunuh nafsu dalam diri kita, kita hanya bisa mengendalikannya supaya kehidupan kita yang baik ini tidak menjadi rusak karena nafsu yang tidak terkendali.

Dan, dia tidak bertanya kembali soal pilihan hidup. Mungkin saja ia mencoba meneguhkan hatinya dengan pilihan yang akan dibuatnya nanti, yang akan menentukan jalan hidupnya. Kalau ia akan memilih menjadi apa nanti, dalam kehidupannya kelak!

Kalau aku, ya, aku sih memilih meneruskan hidupku sendiri. Hahaha, lha, kalau sudah memilih tapi tidak meneruskan hidup, aku rasa pilihan itu akan sia-sia saja. Yah, bimbang tidak akan membuatku untuk memilih menghentikan hidup! Itu namanya bunuh diri!***

Posted in DARI HATI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Labirin

Posted by permanas pada 14 Oktober 2008

Jalan itu terlalu berliku, seperti labirin-labirin yang disediakan untukku, salah melangkah maka aku akan menemukan diriku tidak ada di mana-mana dan satu-satunya yang kutahu kalau aku telah tersesat. Aku tidak tahu apakah aku salah langkah, atau sesuatu telah membuatku tidak bisa melihat jalan mana yang harus kutempuh, untuk kulalui. Tapi begitulah aku sekarang, aku tersesat.

Aku tidak menyesal, tidak mengeluh, itu hanya akan membuat kenyataan semakin berat untuk aku lalui. ‘Ayo, langkahkan kakimu kembali, telusuri apa yang telah kau mulai. Laki-laki dinilai dengan apa yang telah ia selesaikan, bukan dari apa yang telah dimulainya. Jika tidak, kau akan menemukan dirimu bukan siapa-siapa kelak.’ Ah, batin itu terus memburuku. Ia membakarku, menyemangatiku, jangan tumbang ditengah jalan. Penderitaan adalah pahat yang akan membentuk seseorang menjadi manusia sejati, manusia yang tidak kalah. Aku tidak ingin dikalahkan kehidupanku sendiri, tidak, itu tidak akan terjadi.

Biarlah mereka tertawa, itu hak mereka, dan aku menghormati mereka. Dengan sendirinya, mereka telah menjadi bahan bakar semangatku untuk terus bergolak, mendidih. Baiklah, ada yang harus aku selesaikan sekarang. Aku tidak ingin dikalahkan labirin-labirin sialan itu. Kembali aku merunut jalan yang telah aku lalui sebelumnya, setidaknya aku telah melihat kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Jika mengulanginya, maka aku adalah ikan yang bodoh terpancing dua kali dengan umpan yang sama.

Benar saja, aku keluar satu gang dari sebelumnya, gang itu terlalu sempit, ia hampir saja membuat tubuhku sesak ketika melewatinya. Keluar dari sana membuat hatiku gembira. Tapi perjalanan belum selesai. Hah, mana ada pekerjaan yang telah selesai? Ia hanya satu babak dari sekian babak yang belum dimainkan.

“Kau mau pilih jalan yang mana untuk kau lalui?” seseorang mendesakku tiba-tiba. Tentu saja aku terperanjat, rasa-rasanya ia tidak ada dalam mataku sejak tadi. Aku hanya melihat lorong-lorong yang harus kutiti. Aku mencari jalan keluar, tapi ia malah membuatku semakin ragu dengan pilihanku, pertanyaannya menyesatkan.

“Entahlah,” akhirnya aku jawab pertanyaan itu. Aku menyembunyikan perasaanku darinya. Malah terkesan aku melindunginya dari orang tersebut.

“Ragu?” tanyanya lagi.

“Mungkin saja, tapi aku belum memilih.”

“Apa yang harus kau pilih?”

“Jalan itu. Apa kau tidak lihat? Kau sendiri bertanya jalan mana yang harus kupilih.”

“Itulah masalahnya. Karena ragu memilih, aku malah terlantar di sini begitu lama. Aku takut dengan apa yang harus kupilih,” jawab orang itu. Aku tidak tahu apakah nada suaranya terkesan menyesal atau bingung. Malah dia yang sekarang ragu-ragu. Ia tidak berani melangkah karena takut dengan konsekuensi dari pilihannya.

“Sehebat itukah?” tanyaku penasaran.

“Bisa saja seperti itu. Buktinya, aku masih belum berani memilih sampai sekarang, sampai seseorang juga ikut tersesat. Kau. Berdua kita sekarang.”

“Tidak, tidak, aku tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Bukankah kau akan menyia-nyiakan waktumu hanya terus berpikir dengan jalan mana yang harus kau lalui. Hah, hidup itu bukan hanya sekedar pilihan-pilihan, tapi bagaimana terus menjalankan pilihan itu agar tidak berhenti di tengah jalan. Berapa banyak orang yang berhenti setelah memilih?”

“Terlalu banyak, kawan, terlalu banyak.”

“Dan berapa banyak orang yang terus yakin dengan pilihannya dan menyelesaikan apa yang telah dipilihnya itu?”

“Terlalu sedikit yang bertahan dan sampai menemukan akhirnya, akhir yang menyenangkan karena apapun yang terjadi mereka menyelesaikan pilihan mereka. Kau benar, aku tidak tahu mana yang harus kupilih.”

“Aku tidak bisa menjawabnya.”

“Aku tidak meminta.”

“Aku hanya yakin dengan apa yang kupilih.”

“Apa aku harus ragu?”

“Tidak tahu. Hati orang siapa yang bisa menebak.”

“Tidak ada, tidak kau.”

Sepertinya sudah takdir manusia harus menjalani sendiri dengan pilihannya dan terus berjuang dengan gelombang yang dahsyat. Timbul dan tenggelam, itu adalah hal biasa dalam mengarungi kehidupan. Yang karam, mungkin orang yang tidak terlalu beruntung dengan pilihannya. Tapi aku tetap menghormatinya, ia karam dengan keyakinan yang kuat bahwa ia akan mampu menyelesaikan apa yang sudah dipilihnya. Akhirnya aku memilih jalanku sendiri, mungkin aku akan kesepian, merasa sendiri. Tapi mengayuh perahuku ke tengah lautan dengan ombak dan kedalaman yang sukar ditentukan sudah menjadi tekadku, aku tidak bisa mundur lagi, aku terima konsekuensi dengan keberuntungan, atau mungkin karam. Tapi aku telah memilih, bukan. Dan aku meninggalkan orang yang menegurku tadi dipersimpangan, dari kejauhan ia tetap terlihat kaku dan ragu.

*** ***

Aku rindu tempatku biasa berada, kau tahu, taman di mana selalu aku melakukan kesendirianku. Mengejar kupu-kupu dalam imajiku seperti aku benar-benar melakukannya. Biar nyatanya aku hanya diam menatap ruang kosong. Aku baru saja mengarungi lautan itu dan labirin-labirin itu tidak mampu mengalahkan diriku. Aku teguh (ah, mungkin aku tidak berkata jujur) tidak, tidak, aku tidak seteguh karang, biar aku masih sanggup berdiri tegak, sesuatu telah melukaiku. Dan ternyata, aku masih sanggup berdiri!

“Bagaimana kau masih bisa berdiri sementara kakimu penuh dengan luka-luka. Aku tidak bisa membayangkan keperihan yang kau rasakan.” Sesuatu berbisik, aku tidak tahu siapa yang bicara. Atau mungkin itu bayanganku sendiri, atau sesuatu telah menghentak.

“Aku tidak tahu. Aku hanya paksa saja kakiku untuk tetap bisa menopang tubuh kurusku. Tapi biarlah, kesakitan adalah obat mujarab untuk tetap bertahan. Dan sekarang, mungkin angin itu akan segera kulawan kalau ia telah berubah menjadi badai.”

“Bagaimana kau akan melakukannya. Puing-puing akan menghantammu dengan keras sekali. Bongkahan-bongkahan karang yang terlontar dari tebing-tebing waktu akan mengiris dan mengoyak daging yang melekat pada tulangmu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kau akan tetap mampu berdiri setelahnya.”

“Aku akan tetap berdiri. Jika aku tumbang, setidaknya, keyakinanku masih berdiri di atas diriku. Tubuhku kalah, tidak dengan keyakinanku, sobat.”

*** ***

Bagaimana harus kukatakan sekarang, kata-kata itu merubah dirinya menjadi tombak dengan rentang yang sangat panjang, mata pisaunya mengecohkan dengan benagn-benang merumbai, ia hampir saja melukaiku, karena benang-benang berwarna merah itu menipu pandangan. Aku tidak tahu harus bilang apa, gemuruh yang bergejolak dalam dada tidak lagi berupa badai, ia telah berubah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan daripada sekedar awan yang mengandung angin dan listrik.

Dan, akhirnya, ketika aku bilang kalau aku masih sanggup berdiri dengan luka-luka yang kusembunyikan. Dalam bilik kesunyianku, aku takut kalau aku telah kalah. Itu akan memukul dan menamparku dengan hebat. Aku bukan manusia kalah, tidak, aku tidak ingin dikalahkan begitu saja tanpa perjuangan. Aku tidak ingin menjadi manusia yang biasa-biasa saja, aku tidak ingin seperti apa adanya. Dan, labirin mungkin telah menyesatkan pikiranku. Aku tidak ingin pasrah, aku ingin melawan, aku ingin dilawan. Bila aku tumbang, aku ingin tumbang dalam keadaan berjuang. Labirin-labirin itu mungkin telah membunuh tubuhku, tidak dengan jiwa dan pikiranku.****permanas.

Posted in DARI HATI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | 3 Comments »

Mengintip Indonesia: ‘Seandainya Tak Ada Korupsi Dan Koruptor’

Posted by permanas pada 17 September 2008

Oleh: Sawaludin Permana

Ø Hidangan pembuka

Enam puluh tahun lebih Republik Indonesia menempuh perjalanan panjang, berbagai kemajuan dan keberhasilan telah diraih seiring dengan munculnya gedung-gedung pencakar langit, lampu-lampu jalan yang menghiasi udara malam kota-kota besar serta segala macam pernak-pernik dan corak ragam kehidupannya. Sayangnya, arti pembangunan itu belum bisa dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Keindahan yang tak terbayangkan itu ternyata juga menyimpan banyak pertanyaan bagi siapa saja yang memandangnya dan menyembunyikan makhluk yang menjadi momok banyak orang. Makhluk itu bernama ‘KORUPSI’.

Karena makhluk itu pulalah, pemerintah dan rakyat saling tuding-menuding, curiga-mencurigai, saling lantang membela hak mereka masing-masing. Ketika demokrasi yang kita bangga-banggakan ini tidak lagi bisa berjalan, kemiskinan merajalela, lembaga peradilan tidak lagi menjadi sebuah tempat mencari keadilan melainkan tempat transaksi jual-beli. Maka, kita semua telah lupa apa yang telah diperjuangkan para pahlawan kita ketika memperebutkan kemerdekaan ini. Kita tidak pernah tahu apakah para pahlawan itu –seandainya masih hidup- akan bangga atau tidak bisa berkata apa-apa ketika melihat republik Indonesia sekarang ini semenjak Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengutuk segala macam bentuk penjajahan. Meski tertatih-tatih, bangsa ini masih bertahan dan tetap mampu menunjukkan dirinya di tengah era globalisasi yang tidak bisa dielakkan lagi. Mau tidak mau kita sudah menjadi bagian daripadanya.

Ø Budaya Indonesia dan Budaya Korupsi di Indonesia

Di dalam dirinya, bangsa Indonesia sangat menghargai kebhinekaannya, karena kebhinekaan merupakan kekuatan yang sangat besar untuk membangun bangsa ini ke depan. Akan tetapi, kebhinekaan tanpa kesetaran dan keadilan berpotensi menghancurkan.[i] Menurut Siswono Yudhohusodo, keberagaman yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghancurkan masyarakat yang beragam. Kita hanya bisa maju karena semangat kesetaraan, keadilan dan persaudaraan.[ii]

Sayangnya, hal itulah yang tidak lagi disadari sekarang ini, di mana hukum rimba yang berbunyi ‘only the strong can survive’ menjadi sesuatu yang harus dipertahankan, kalau tidak ingin terinjak-injak oleh kemajuan jaman. Jurang antara si miskin dan si kaya menjadi ruang diskriminasi yang sangat mencoloj, hilangnya rasa persaudaraan karena pergeseran nilai-nilai kehidupan berbhineka menjadi nilai-nilai individual, dan rasa persaudaraan menjadi barang langka yang hanya menjadi komoditi kampanye belaka. Kita tidak perlu mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain ketika Indonesia yang di mata dunia memiliki keberagaman budaya yang luhur kini lunturyang disebabkan banyak faktor sudah menggejala di mana-mana dan menjadi penyakit kronis. Namun, faktor paling mencolok yang mencuat ke permukaan adalah masalah kemiskinan dalam setiap lini kehidupan masyarakat, ditambah dengan masalah pendidikan yang serba menyangkut urusan biaya. Dan, memang selalu masalah biaya. Akibatnya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil menciptakan manusia-manusia bermoral dan berakhlak baik untuk ditempatkan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang pada kenyataannya pun miskin dalam hal moral dan akhlak.

Apakah itu karena kita telah gagal dalam memaknai pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Menurut Siswono Yudhohusodo, pancasila sebagai ideologi nasional harus dipahami dan dimaknai dari sejarahnya. Bukan dihafalkan seperti jaman orde baru atau dilakukan indoktrinasi seperti jaman orde lama. Pancasila merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat dengan berbagai suku, agama, ras, bahasa, pulau, menjadi bangsa yang satu. Akan tetapi, semangat bhineka tunggal ika ini harus dimaknai dalam kesetaraan, keadilan, dan harmoni. Tanpa itu sulit tercipta kemajuan bersama.[iii] Jadi, pancasila saat ini perlu dihidupkan kembali dalam masyarakat yang sudah mulai melupakan dasar negaranya. Untuk memperbesar gaung pancasila, perlu adanya campur tangan pemerintah.[iv] Asal tidak mengulang kembali seperti yang dilakukan era orla dan orba, yang berarti nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pancasila harus diterapkan dan diaplikasikan dalam kehidupan berwarganegara. Jadi tidak sekedar menghafal. Dan memang memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya.

Lalu apa hubungannya antara budaya Indonesia dengan budaya korupsi di Indonesia? Menurut catatan The World Bank, Indonesia memiliki reputasi internasional buruk tentang korupsi telah diketahui luas. Bahwa dunia melihat Indonesia sebagai negara korup bukan merupakan berita bagi orang Indonesia, karena mereka tidak menutup mata tentang korupsi di negerinya,[v] dan lembaga-lembaga pemerintahan menjadi indikator berlangsungnya korupsi.[vi]

Ironis sekali kalau negeri Indonesia sebagai zambrud khatulistiwa memiliki penyakit korupsi yang menggerogoti dari dalam hingga hutan dan kandungan tanahnya menjadi gersang demi kepentingan dan kekayaan segelintir orang, sementara kemiskinan dan keterpurukan ekonomi menjadi tumbalnya. Korupsi telah menghadirkan terjadinya busung lapar, polio, infrasturktur yang buruk, dan membiarkan rakyat tidak berdaya karena menghadapi kenyataan kalau mereka juga tidak luput sebagai sapi perahan. Sampai Denny Indrayana berikrar, akhirnya, hanya dengan proklamasi merdeka dari korupsi yang menegaskan pemberantasan korupsi secara luar biasa dan secepat-cepatnya, Indonesia ke depan masih mungkin bisa diharapkan tetap ada. Tanpa itu, Indonesia hanya menunggu waktu untuk menjadi tiada. [vii] Karena itu, pemberantasan, penyelundupan, korupsi, atau subversi adalah tindakan vital bagi pemulihan ketertiban hukum dan karena itu harus dilakukan dengan tekun tanpa pamrih dan tanpa pandang bulu.[viii] Meskipun kita tahu itu adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan, tapi kalau didukung oleh seluruh lapisan masyarakat yang mengerti dan paham kalau kegiatan korupsi adalah musuh di depan mata yang dapat menghancurkan stabilitas bangsa dan negara ini harus benar-benar dimusnahkan. Dengan demikian, tidak ada yang mustahil kalau korupsi bisa hilang dari negeri Indonesia dan pelakunya dihukum seberat-beratnya.

Tapi apakah benar, sekarang jamannya jaman edan, seperti yang pernah diungkapkan pujangga besar bernama Ronggo Warsito, kalau tidak ikut edan tidak akan kebagian. Sampai-sampai orang bijak pun mengeluh, untuk menjadi orang jujur di jaman sekarang sungguh sangat sulit. Benarkah kalau kita jujur justru celaka? Seharusnya kita tahu bahwa kejujuran itu dapat mewujudkan keadilan. Aristoteles pun menyebutkan, kalau keadilan akan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama pula (justice is done when equals are treated equals). Namun, kalau yang terjadi justru sebaliknya, maka kita sudah pasti tahu kalau ada sesuatu yang salah sedang terjadi. Terlepas sadar atau tidak.

Oleh karena itu, dalam demokrasi modern, sektor peradilan memainkan peran penting dalam menjaga akuntabilitas lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif. Pemerintah sama-sama menentukan kerangka acuan legal maupun konstitusional sebuah negara, yang merefleksikan warga negaranya.[ix] Dalam keadaan seperti sekarang ini kita memerlukan kearifan yang berlaku secara luas, hukum-hukum dan perundang-undangan dan norma-norma yang hendaknya dapat melindungi seluruh individu-individu dalam negara dengan tidak meilih-milih. Semua seharusnya sama di depan hukum.

Negara hendaklah menjadi pendukung cita-cita susila, yang lebih-lebih dari untuk manusia seorang, berlaku untuk umat manusia seluruhnya, dan hal ini mendapat perwujudannya dalam negara sebagai suatu bentuk pergaulan hidup.[x] Yang terjadi sekarang malah justru politik kini menjadi sumber daya yang dipertaruhkan untuk kedudukan sosial dan kedudukan material. Kedudukan pengurus partai sangat diimpikan karena mendapat keuntungan material.[xi] Mereka menjadi lupa dengan tujuan awal bahwa apa yang seharusnya mereka lakukan adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyat banyak berubah drastis menjadi tujuan mensejahterakan diri sendiri. Dan ini menjadi indikasi awal terjadinya korupsi di Indonesia di mana orientasi politik bukan berdasarkan komitmen ideologis, melainkan keuntungan semata.

Budaya Indonesia adalah budaya saling harga-menghargai, budaya Indonesia di mata dunia adalah budaya penuh keramah-tamahan. Tapi, yang mereka kenal sekarang adalah Indonesia dengan budaya korup sampai lapisan paling bawah sekalipun, korupsi kerap kali terjadi. Sementara hukum tidak dapat berbuat banyak karena ketakberdayaannya sendiri di tengah arus konspirasi yang sangat kental dan sangat sulit untuk ditembus oleh perangkat-perangkat hukum yang ada, sehingga menimbulkan keadaan dengan apa yang disebut sebagai ‘anomie’ yaitu suatu keadaan di mana tidak ada pegangan pasti terhadap apa yang baik dan apa yang buruk sehingga anggota-anggota masyarakat tidak mampu untuk mengukur tindakan-tindakannya, oleh karena batasan-batasannya tidak ada.[xii] Kalau demikian yang terjadi, seperti yang dikatakan Denny Indrayana, kita harus siap-siap kehilangan Indonesia yang kita cintai ini.

Ø Malu, Budaya yang Terlupakan

Bung Karno, Proklamator Indonesia, suatu kali berkata, “Kalau mereka memimpin, maka ketahuilah, bahwa yang mereka pimpin itu bukan satu rombongan kambing atau satu rombongan bebek atau satu rombongan tuyul, tapi satu rakyat yang kesadaran sosialnya dan kesadaran politiknya telah tinggi.”[xiii] Karena itu tidak jarang, setiap langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan pemerintah tidak pernah lepas daripada pandangan rakyat yang dipimpinnya. Karena demokrasi politik berasal dari kesadaran yang sangat dalam di hati sanubari rakyat akan demokrasi, yang erat hubungannya dengan kesadaran akan harga diri dan rasa kemerdekaan.[xiv]

Tapi ketika kekuasaan telah disalah artikan dan berubah menjadi kendaraan pribadi untuk meraup kekayaan negara sebanyak-banyaknya, pada saat bersamaan pula berarti pengkhianatan terhadap kesadaran hati nurani rakyatnya. Yang jelas, kekuasaan telah diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut.

Memang, persoalan kekuasaan, atau lebih luas lagi dalam persoalan politik suatu bangsa, atau lebih mendalam lagi persoalan manusia dan kebersamaan manusia, tidaklah ‘flat’, tidak datar, tidak hitam maupun putih, bukan searus atau segaris atas sepetak ruang; melainkan multi dimensional, bulat atau prismatik. Namun, kita juga melupakan satu hal, yaitu apa yang disebut sebagai rasa malu. Inilah yang sudah lama dilupakan kita, malu ketika kekuasaan itu diselewengkan, malu ketika amanah hanya dijadikan sandaran kursi yang didudukinya, padahal kursi itulah segala harapan-harapan rakyat hadir dihadapan orang yang mendudukinya, malu ketika uang negara dijadikan ajang foya-foya sementara di balik pagar besi istana, yang juga sejatinya adalah milik rakyat, anak-anak putus sekolah duduk di sampingnya dengan pandangan mengawang tanpa harapan yang tidak pernah pasti. Tapi yang kita rasakan adalah budaya yang ‘malu-maluin!’.

Mentalitas korupsi telah sedemikian mengakarnya dalam setiap segi dan pelosok kehidupan kita, baik dalam kepemerintahan maupun dalam masyarakat secara luas. Dalam kepemerintahan, segi birokrasi seharusnya dapat dilihat sebagai sistem rasional yang berprinsip efektivitas, efisiensi, ternyata dalam prakteknya justru irasional, bertele-tele dan korup. Dan, sebagai dampaknya, hal itu pun berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat, siasat perjuangan hidup modern yang antara lain ‘tujuan menghalalkan perbuatan’ yang haram menurut ukuran moral agama, dijadikan halal oleh karena kepentingan tujuan. Dan celakanya lagi, ini telah membudaya di masyarakat luas. Moral inilah yang sekarang tidak lagi dimiliki sebagian penguasa dan masyarakat kita di mana budaya malu telah berubah menjadi budaya ‘malu-maluin’. Karena praktek korupsi yang merajalela saat ini perlahan-lahan mulai menghancurkan eksistensi bangsa. Karena itu, Judilheri Justam meyakini, setiap kali terjadi penyimpangan dan pengingkaran terhadap cita-cita dan tujuan proklamasi, maka akan terjadi upaya dan ikhtiar untuk dikoreksi.[xv]

Ø Seandainya Tak Ada Korupsi Dan Koruptor

Korupsi, yang dapat dikatakan. Sebagai sebuah bentuk pengingkaran terhadap makna pembangunan yang adil dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia, telah sedemikian rupa hebatnya membuat perekonomian negara menjadi semrawut. Rakyat menengah ke bawah menjadi tambah ketakberdayaannya di tengah persaingan hidup yang semakin ketat itu dan kelemahan-kelemahannya menjadi korban dari kekuatan penjahat-penjahat kerah putih.

Padahal, menurut perdana mentri Kim Il Sung di tahun 1947, pernah berkata, untuk membangun negara yang demokratis, maka ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tidak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tidak mungkin kita mendirikan negara, tidak mungkin kita tetap hidup.[xvi] Sementara kita masih mengharapkan bantuan-bantuan dari negara donor untuk membangun perekonomian di Indonesia, yang dalam kenyataannya pun tak luput dari praktek KKN di mana nota benenya adalah hutang negara yang dibebankan kepada rakyat untuk pengembaliannya. Dan memang, kita belum merdeka seperti apa yang kita bayangkan sebelumnya.

Berangkat dari pemikiran tersebut, gencarnya upaya pemberantasan korupsi pada pemerintahan Bambang Susilo Yudhoyono – Jusuf Kalla seakan memberikan angin segar kepada masyarakat yang mencita-citakan pemerintahan yang bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melanda Indonesia. Menurut Sri Sulistiyani, pemberantasan korupsi yang disepakati sebagai gerakan nasional ini seharusnya juga diikuti dengan langkah-langkah yang riil, penyelidikan dan persidangan dari berbagai kasus yang telah dilaporkan. Kalau seperti ini kan hanya menjadi wacana atau slogan.[xvii] Ketua BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen juga menyatakan hal senada, menurutnya, masih banyak kekurangan dan kejangalan terutama hasil akhir pemberantasan korupsi itu yang membuat publik patah arang. Contohnya putusan pengadilan yang tak adil dan tak berpihak kepada misi pemberantasan korupsi itu sendiri.[xviii]

Karena itu, ketua pimpinan pusat Muhammadiyah, Syafi’I Ma’arif mengatakan, melawan korupsi harus dilakukan secara total karena korupsi sudah menggurita di mana-mana. Untuk itu, bangsa Indonesia harus menggunakan semua kekuatan bangsa untuk melawannya. “Tanpa komitmen memberantas korupsi dengan semua kekuatan, negeri ini akan tertatih-tatih menghadapi masa depan yang tidak jelas.”[xix]

Kita semua tahu, memandang Indonesia sekarang seperti memandang sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja, gesekan dan getaran sekecil apapun dapat memicu terjadinya ledakan yang tidak dapat kita bayangkan. Ketika ekses dari korupsi menyebabkan masalah-masalah ketidak setaraan dan ketida kadilan yang berubah dan muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi, sementara di tengah penderitaan bangsa orang rebutan kekuasaan dan tidak malu, alasannya pun jelas: duit adalah raja. Dari sanalah makhluk bernama korupsi itu diwariskan dari generasi ke generasi dengan tanpa penyelesaian. Kita belum bisa menciptakan Indonesia dengan pemerintahan dan perangkat-perangkatnya yang bersih dan jujur, kita juga belum mampu menciptakan orang kaya-orang kaya tanpa sentimen di mana hasil usaha dan kekayaannya dilakukan dengan jujur dan tidak curang. Moralitas menjadi begitu sunyinya, mendekam sendirian, karena ia tidak lagi menjadi ukuran untuk hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Apakah ini indikasi bahwa kita negara yang telah gagal. Sebagaimana dijelaskan Dr. Robert I Rotberg, indikator negara-negara yang gagal adalah cendrung menghadapi konflik yang berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur lainnya dibiarkan hancur.[xx] Mudah-mudahan saja kita bukan sebagai negara yang gagal.

Alangkah indahnya Indonesia, senadainya benar-benar tidak ada korupsi dan koruptor, di mana setiap orang menghargai hasil jerih payah dan keringatnya karena diperoleh dengan jujur dan adil. Lembaga-lembaga birokrasi pemerintah, di mana menurut A. Coser – Bernard Rosenberg, merujuk pada suatu organisasi yang dimasudkan untuk mengerahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus untuk mencapai tujuan tertentu. Atau dengan lain perkataan, birokrasi adalah organisasi yang bersifat hierarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinir pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas-tugas administratif,[xxi] dapat berjalan efektif, efisien, tidak bertele-tele, dan yang pasti tidak korup. Lembaga-lembaga peradilan dalam memutuskan setiap perkara yang dilimpahkan kepadanya dapat memutuskan perkara dengan seadil-adilnya dan tidak berat sebelah, tanpa memandang golongan apapun dan kepentingan apapun, di mana saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan para penegak hukum sangat rendah. Perekonomian rakyat dan negara menjadi stabil karena setiap keuntungan digunakan untuk pembangunan secara menyeluruh yang dapat dinikmati masyarakat Indonesia seutuhnya. Pendidikan yang murah dan bertanggungjawab –bukan sebagai pedagang ijazah asli maupun palsu- yang menciptakan manusia-manusia bertanggung jawab untuk tetap mampu meneruskan cita-cita bangsa dan negara. Yang jelas, tidak bermental bunglon dan bermental korup. Niscaya, Indonesia masih akan tetap ada.

Ø Penutup

Memang telah terbukti kalau korupsi menyengsarakan rakyat, meski kita membutuhkan semua komponen bangsa untuk memusnahkannya, kita juga membutuhkan kesadaran dengan apa yang disebut sebagai ‘self-control’ atau pengendalian diri dan ingat kalau kita merugikan orang lain berarti kita juga merugikan diri sendiri. Dan, apa yang ada pada diri kita tidak lebih adalah amanah, ini berlaku untuk semua pemimpin, dan juga semua orang karena pada dasarnya mereka juga adalah seorang pemimpin untuk diri mereka sendiri. Hal ini akhirnya memicu social control yang sehat dalam masyarakat dan negara. Seperti peraturan emas yang dirumuskan O. Hoffe, bahwa sebagaimana engkau mengharapkan agar kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan keprihatinan-keprihatinanmu diperhatikan, begitu pula engkau harus memperhatikan kebutuhan, kepentingan, dan keprihatinan orang lain.[xxii] Hal ini juga memicu apa yang diharapkan Selo Soemardjan, bahwa dengan keseimbangan dalam masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi.[xxiii] Selaras dengan itu menyebabkan tumbuhnya suatu solidaritas yang mempunyai keinginan-keinginan sendiri, yaitu keinginan umum. Keinginan umum tadi adalah berbeda dengan keinginan masing-masing individu.[xxiv] Itu terbukti, dengan keinginan seluruh lapisan masyarakat untuk memberantas korupsi, meski dalam prakteknya pun mendapatkan banyak ganjalan-ganjalan.

Soekarno mengingatkan, salah satu ciri orang yang betul-betul revolusioner ialah satu kata dengan perbuatan, satu mulut dengan tindakan.[xxv] Karena memang itulah orang yang benar-benar dibutuhkan dalam segala jaman.

Akhirnya, ada sementara orang berdalih: orang baik adalah lebih baik. Ini benar. Tapi karena orang baik jauh lebih sedikit daripada orang yang tidak baik, dan karena adalah lebih mudah membuat undang-undang baik, daripada memperbaiki orang-orang yang tidak baik, usaha kesempatan untuk memperbaiki peraturan undang-undang haruslah dipergunakan sebaik-baiknya.[xxvi] Karena untuk bisa memandang ke depan, kita harus menentukan sebelumnya. Savoir pour prevoir.***

CATATAN AKHIR:

[i] Kompas, Bisa Menghancurkan, Kebhinekaan Tanpa Kesetaraan. Senin, 20 Juni 2005; hal.6; rubrik Politik dan Hukum.

[ii] Idem.

[iii] Idem.

[iv] Kompas, Pancasila Perlu Dihidupkan Kembali. Sabtu, 11 Juni 2005; hal.7; rubrik Politik dan Hukum

[v] The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan; Oktober 2004; hal. 44

[vi] idem, hal. 47

[vii] Denny Indrayana, dosen hukum tata negara UGM juga menjabat sebagai direktur Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta, dalam tulisannya ‘Proklamasi Anti Korupsi’ di Media Indonesia. Selasa, 19 Juli 2005; rubrik Opini; hal. 26

[viii] Yap Thiam Hien. Negara, Ham, dan Demokrasi. Penerbit Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Desember 1998, hal.26

[ix] The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan. Oktober 2004. hal.166.

[x] Mr. J. Bierens De Han, Sosiologi, Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Sjami, 1953. hal.13

[xi] Kompas, Politisi Perlu Pendidikan Politik. Selasa, 3 mei 2005. hal.6. rubrik Politik dan Hukum.

[xii] Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar. Edisi 1, 1982. CV. Rajawali, Jakarta. Hal.340.

[xiii] Bung Karno, Panca Azimat Revolusi. Totalitas. Hal. 67-68.

[xiv] Mr. J. Bierens De Han, Sosiologi, Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adna Sjami. Hal 171.

[xv] Judiheri Justam dari Petisi 50. lih. Kompas, Petisi 50 Soal Korupsi. Sabtu, 7 Mei 2005. hal.7. rubrik Politik dan Hukum.

[xvi] Lih. Bung Karno, Panca Azimat Revolusi, hal. 125.

[xvii] Sri Sulistiyani, Koordinator Gerakan Masyarakat Anti Korupsi (GEMAK) Jember. Lih. Media Indonesia, ‘Pemberantasan KKN hanya Slogan’. Selasa, 10 mei 2005. rubrik Nasional.

[xviii] Lih. Suara Pembaruan, Pemberantasan Korupsi Belum Sesuai Harapan. Senin, 25 Juli 2005. rubrik Nasional.

[xix] Kompas, Pemberantaan Korupsi Harus Dilakukan Secara Total. Kamis, 19 Mei 2005. rubrik Poltik dan Hukum.

[xx] Dr. Robert I Rotberg, direktur program konflik Jhon F. Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sebuah sesi diskusi di CSIS. Lih. Kompas, 28 Maret 2005. penjelasan lebih lanjut lih. Peta Konflik Jakarta, Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara, dan Warga. Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (Yappika) hal.125

[xxi] pengertian birokrasi menurut A. Coser – Bernard Rosenberg. Untuk penjelasan lebih lanjut lih. Soejono Soekanto. Sosiologi, Suatu Pengantar. Edisi 1. 1982. CV. Rajawali, Jakarta. Hal. 293.

[xxii] Dikutip dari makalah Franz Magnis Suseno: ‘Menguasai atau berpartisipasi? Tentang Krisis Kebudayaan Teknokratis dan Kekuasaan untuk Mengembangkan Suatu Etika masyarakat Teknologi Baru’ dalam buku Dasar-Dasar Krisis Semesta dan Tanggung Jawab Kita. Universitas Nasional. Dian Rakyat, Jakarta. Cet.1, 1984. hal. 158.

[xxiii] Dikutip dari Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar. Ed.1, 1982. CV. Rajawali, Jakarta. Hal. 339.

[xxiv] Idem. Pendapat Rosseau. Hal. 27

[xxv] Bung Karno, Panca Azimat Revolusi. Totalitas. Hal.108.

[xxvi] Yap Thiam Hien, Negara, Ham, dan Demokrasi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Desember 1998. hal. 99

DAFTAR PUSTAKA:

· Agus Budi Purnomo, Fransisca Melia N Setiawati, Indra Jaya Piliang, Otto Syamsuddin Ishak; Peta Konflik Jakarta, Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara dan Warga. Penerbit, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) Cet. 1, Januari 2004.

· Bung Karno; Panca Azimat Revolusi. Pen. Totalitas. 2002.

· Fraanz Magnis Suseno; makalah ‘Menguasai atau Berpartisipasi? Tentang Krisis Kebudayaan Teknokratis dan Keharusan untuk Mengembangkan Suatu Etika Masyarakat Teknologis Baru’ dalam buku, Dasar-dasar Krisis Semesta dan tanggung Jawab Kita. Kumpulan 13 Makalah Simposium Dasar-dasar Krisis Semesta dan tanggung Jawab Kita, diadakan oleh Universitas Nasional 4-5 Juni 1983. Pen. PT. Dian Rakyat Jakarta. Cet.1. 1984.

· Kompas; Politisi Perlu Pendidikan Politik; Selasa, 3 Mei 2005

· _______; Petisi 50 Soal Korupsi; Sabtu, 7 Mei 2005

· _______; Pemberantasan Korupsi harus Dilakukan Secara Total; Kamis, 19 Mei 2005

· _______; Pancasila Perlu Dihidupkan Kembali; Sabtu, 11 Juni 2005

· _______; Bisa Menghancurkan, Kebhinekaan Tanpa Kesetaraan; Senin, 20 Juni 2005

· Media Indonesia; Pemberantasan KKN Hanya Slogan; Selasa, 10 Mei 2005

· _____________; Proklamasi Anti Korupsi, oleh Denny Indrayana; Selasa19 Juli 2005

· Mr. J Bierens De Han; Sosiologi, Perkembangan dan Metode, terjemahan Adnan Sjami. Pustaka Sardjana No. 10. Yayasan Pembangunan Jakarta, 1953. judul asli: Sociologie Ontwikkeling En Methode (N.V. Servire – De Haan)

· Soerjono Soekanto; Sosiologi, Suatu Pengantar. Cet. 1, 1982. CV. Rajawali, Jakarta

· Suara Pembaruan; Pemberantasan Korupsi belum Sesuai Harapan; Senin, 25 Juli 2005

· The World Bank; Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan; Oktober, 2004

· Yap Thiam Hien; Negara, HAM, dan Demokrasi; Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Desember 1998.

***tulisan ini aku buat tahun 2005.

Posted in TULISAN LEPAS | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | 9 Comments »