Permanas

dan jika kebebasan adalah kata-kata yang tak terantai, maka ia tak perlu dipasung

Posts Tagged ‘indonesia’

PIKIR!

Posted by permanas pada 25 Februari 2009

Pagi yang cukup indah walau panas matahari sangat menyengat kulit, maklumlah, sekarang kan sudah musim kemarau. Jadi ya, sah-sah saja kalau matahari unjuk gigi, yang penting asal jangan unjuk rasa. Wah, bisa-bisa gelap total bumi kita kalau sampai matahari berunjuk rasa. Makanya jangan macam-macam sama alam –bukan Alam yang pelantun ‘Mbah Dukun’ itu lho maksud saya- jangan bisanya hanya memanfaatkan dan merusak saja bisanya, iya toh!

Coba bayangkan kalau langit ini menangis tersedu-sedu dan menjerit sekeras-kerasnya, membuat kita ketakutan dan merasa kita tidak dapat berbuat apa pun selain menatap rumah kita terendam air mata langit yang meluap karena tidak mau berhenti menangisnya menatap hutan-hutan yang gundul cepak seperti bocah lima tahun digunduli lantaran banyak koreng di setiap bagian kepalanya, hehehehe, masa sih bisa seperti itu?

“Lho, bisa saja! Apa sih yang tidak mungkin terjadi di dunia ini?” kata Abah Kirman, tiba-tiba saja ia datang sambil memegang segelas kopi hitam di tangan kanannya dan di sela-sela jari hitamnya terselip sebatang rokok kretek yang tinggal setengah dihisap mulut berbibir tebal itu.

Abah Kirman lalu ikut duduk di sebelah saya yang waktu itu pun sedang asyik menyeruput kopi pagi dan menghisap rokok kretek juga di atas bale-bale depan rumah, sambil menatapi kekaguman keelokan alam raya dan burung-burung ‘emprit’ (burung gereja) terbang bergerombol menghampiri para petani yang sedang memanen hasil jerih payahnya. Lantas burung itu pergi begitu saja sehabis petani-petani itu selesai memanen padinya, gembala kerbau dan kerbaunya yang sama-sama kurus karena stok rumput dan beras menipis di bumi yang katanya subur ini. Sungguh sangat kontras sekali.

“Sruuuuttt!” langsung saja lamunan saya terganggu oleh suara mulut Abah Kirman yang menyeruput kopinya dengan semangat juang itu, maklumlah, Abah Kirman pada jaman dahulu adalah seorang pejuang yang sangat gigih mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu jalannya agak pincang, kakinya yang sebelah kanan tertembus peluru tentara Belanda, untung saja Letnan Sujono menolong dan membawa Abah Kirman ke tempat aman yang jauh dari medan pertempuran setelah akhirnya Letnan Sujono pun gugur dalam pertempuran itu. Sayang, Abah Kirman tidak tahu di mana Letnan Sujono di makamkan.

Dentuman meriam dan bredelan suara senapan mesin milik Belanda itu masih sangat jelas di dalam ingatan Abah Kirman dan mungkin ia akamn masih tetap ingat jasa-jasa Letnan Sujono yang telah menyelamatkannya. Berbagai pertempuran telah dilewatinya, pengalaman-pengalaman pahit dan manis telah direguknya, sekarang ia hanya tinggal menjadi saksi sejarah yang telah terlupakan. Tenggelam dalam lautan sunyi. Kosong.

Saya jadi teringat sesuatu, waktu itu saya tengah duduk di sebuah bus kota jurusan Blok M duduk bagian belakang sebelah pojok kanan, di dalam sebuah bus itu sudah ada yang menunggui seorang pengamen, ia mengenakan kaos berwarna merah gombrong dan bercelana jeans biru langit, memegang sebuah gitar biasa, tapi di bagian depannya ada gambar elang menyorot tajam. Setelah penumpang penuh dan bus memasuki areal jalan tol, barulah pengamen itu membawakan lagunya, ia membawakan lagu berjudul ‘Dust In The Wind’. Wah saya terkesima sekali saat itu, habis suaranya itu lho, mendayu-dayu seperti angin sepoi di pinggir laut.

Pasa saat melantunkan lirik yang berbunyi ‘All we are dust in the wind…. Al we are dust in the wind’, saya sempat berpikir, apa iya ya, kita semua cuma debu di dalam angin. Sebegitu ekstremnya ya? Tak apalah, namanya juga hanya sebuah lagu, yang penting cukup terhibur. Iya ndak?

Dan, pada saat membawakan lagu yang kedua, dia menyanyikan lagu barat lagi, saya pikir mana lagu Indonesianya ya, weleeh…. yo uwis lah, kebanyakan mikir nanti malah tambah ruwet kepala saya. Saya pernah mendengar lagunya, tapi tidak tahu apa judulnya, pasti yang penggemar klasik rock pada tahu semua, apalagi yang suka mendengar radio di M 97 FM (kalau tidak salah sekarang menjadi 95.1 FM deh sebelum ada penertiban gelombang radio) itu yang khusus membawakan lagu-lagu rock era 60 -80 an, kalau saya tidak salah lho ya. Begini lho liriknya –moga-moga tidak salah lagi- ‘If you leaving, close the door, i’m not expecting men here anymore’, selebihnya samar-samar karena suara bus yang menggema di dalam mobil, dan tiba-tiba, ‘When the blind men cry….’ kemudian hilang lagi sampai lagu itu selesai, dan terus mengeluarkan kantong permen dari bagian belakang celana jeansnya, mengedarkan kepada setiap penumpang dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas uang yang disumbangkannya. Setelah keluar dari pintu tol, ia langsung turun untuk kemudian mengejar-ngejar bus lainnya dan mungkin menyanyikan lagu yang sama lagi di sana.

Padahal, sebelum naik bus itu, di terminal Bekasi, saya sempat mengobrol sebentar dengan seseorang yang biasa diam di terminal tersebut, ia juga terbiasa menjadi ‘timer’ bus-bus yang ‘ngetem’ di terminal Bekasi. Sudah tujuh bulan katanya ia bekerja seperti itu, meski dalam hati ingin segera berhenti dari pekerjaan itu. Tapi dia sempat berpikir lagi ingin bekerja apa, sedangkan mencari kerja di jaman sekarang sungguh! Sangat sulit. Ia saja di PHK dari pekerjaannya yang tujuh bulan lalu di tinggalkannya karena alasan pengurangan pegawai. Waduh! Kacau. Lha, saya saja masih nganggur alias tidak punya pekerjaan. Hehehehehe, bener, enggak bo’ong, suer.

Tapi, ya sudahlah, mau dikata apalagi, memang negara sekarang sedang susah. Asal masih bisa makan, bisa merokok, kumpul sama keluarga, itu juga masih bisa menghilangkan ganjalan hati. Asal tidak makan hati.

“Kenapa tidak mau, bukannya makan hati itu baik untuk menambah darah, menambah kesehatan tubuh. Biar tetap segar dan tidak loyo, seperti kamu yang kurus kering,” kata Abah Kirman. Lah ini, makanya jangan salah dengar biar jangan salah paham.
“Kalau itu memang benar, Bah. Tapi yang saya sedang pikirkan bukan itu,” jawab saya sedikit kesal.

“Memang apa yang sedang kau pikirkan? Hidup ini bukan cuma untuk dipikirkan, nikmati saja hidupmu itu. Sudah, jangan pikirkan yang macam-macam atau kau memang sedang memikirkan yang macam-macam.”

“Apa saya sedang terlihat berpikir yang macam-macam?”

“”Oalaaah, nduk, nduk…,” kata Abah Kirman sambil menggelengkan kepalanya lantas berdiri dan pergi meninggalkan saya yang masih terlihat sedikit ndumel itu. Sebenarnya saya tidak kesal, apa yang mesti dikesalkan ya? Mungkin biasalah, dalam menghadapi orang tua seperti Abah Kirman, kakek-kakek berumur 80 tahunan itu dan tampaknya masih terlihat cukup sehat meskipun pendengarannta mulai berkurang dan pikirannya kembali seperti anak kecil –tapi tidak juga ah, seperti yang saya rasakan.-

Dulu Abah Kirman lama tinggal di Klaten, walau ia sendiri berawal dari Jawa Barat, dan sekarang ia menetap di daerah pinggiran kita Jakarta. Kalau saya, wah hubungan saya dengan Abah Kirman saja saya tidak tahu harus mulai dari mana. Pokoknya sulitlah untuk dijelaskan. Turun-temurun, beranak-pinak, turunan lagi, nah, turunan yang setelah turunan itulah mungkin posisi saya bila ditilik dari sudut Abah Kirman. Hehehehe, susah apa ndak? Saya sendiri saja bingung.

“Apanya yang bingung? Tertawa kok sendiri-sendiri, mbok ya, bagi-bagi gitu lho, biar tidak disangka kurang waras,” sambung Iman yang waktu itu tidak sengaja lewat di depan saya dan tengah cengengesan sendirian. Masa sih, saya sudah tidak waras lagi.

“Apa iya, saya sudah gika?”

“Ya, ndak juga.”

“Masa sih?”

“Buktinya kamu menanyakan kepada saya.”

“Lha, bukannya sampeyan yang tadi bilang saya begitu?”

“Lha, masa juga sih, apa iya begitu?”

“Weleh, weleh, weleh….,” kata saya yang nyerocos seperti Si Komo itu yang kalau ia lewat jalanan pasti macet. Untungnya saya bukan Si Komo, jadi tidak perlu membuat jalan sampai macet panjang. Tapi, apa iya, jalan-jalan masih suka macet.

Syukur si Iman itu sudah cepat menyingkir dari hadapan saya, kalau tidak, waaduh, ya, tidak apa-apa juga sih. Memangnya mau saya apakan si Iman itu, tidak baik berbuat kasar apalagi terhadap teman, terlebih terhadap saudara sendiri. Ya, kalau ingin hidup nyaman, enak, damai, tentram, harus bisa begitu. Jangan bisanya dikit-dikit sikut, pukul, jotos. Pantas saja, banyak yang bilang negara kita negara yang garang dan ganas. Yang bilang siapa ya. Untung saya orangnya sangat kalem dan lembut, hehehehe.
Matahari tambah tinggi di atas angkasa, tepat di atas bumi kita, yang kata para ilmuwan dan pengamat lingkungan, ozon di atas atsmosfer kita sudah ‘bolong’ karenapolutan di bumi kita meningkat. Kalau saja langit bisa ditambal, pikir saya, pasti cukup mudah untuk memperbaikinya, iya.

“Nah kan, kamu berpikir yang macam-macam lagi, ingat ini dunia nyata bukan impian yang ada di kepalamu itu, yang kosong seperti tong kosong karena kebanyakan bengong,” kata Abah Kirman dan itu membuatku sedikit kaget. Lha, datangnya saja tiba-tiba, seakan seperti malaikat maut yang datang untuk menjemput, bahkan ia sendiri yang pantas dijemputnnya.

Benar kita tidak punya kekuatan apa-apa di alam semesta ini, seperti kita bergantung pada akar yang lapuk, atau seperti di bawah naungan yang hampa. Meskipun sekarang alam cukup ramah untuk didekati dan kita dapat bercumbu dengannya, tapi bukan mustahil suatu saat ia akan menunjukkan kekuatannya.kalau sudah begitu, kita tidak dapat berbuat apa-apa selain berdoa dan terus berdoa.

“Sekarang, ayo kita makan. Ayo, jangan terlalu banyak berhayal,itu kurang baik,” kata Abah lagi dan menyadarkanku dari lamunan yang berkepanjangan.

“Ayolah, kalau begitu, mumpung masih bisa makan, hehehehehe….”

Posted in CERPEN | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »

Mengintip Indonesia: ‘Seandainya Tak Ada Korupsi Dan Koruptor’

Posted by permanas pada 17 September 2008

Oleh: Sawaludin Permana

Ø Hidangan pembuka

Enam puluh tahun lebih Republik Indonesia menempuh perjalanan panjang, berbagai kemajuan dan keberhasilan telah diraih seiring dengan munculnya gedung-gedung pencakar langit, lampu-lampu jalan yang menghiasi udara malam kota-kota besar serta segala macam pernak-pernik dan corak ragam kehidupannya. Sayangnya, arti pembangunan itu belum bisa dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Keindahan yang tak terbayangkan itu ternyata juga menyimpan banyak pertanyaan bagi siapa saja yang memandangnya dan menyembunyikan makhluk yang menjadi momok banyak orang. Makhluk itu bernama ‘KORUPSI’.

Karena makhluk itu pulalah, pemerintah dan rakyat saling tuding-menuding, curiga-mencurigai, saling lantang membela hak mereka masing-masing. Ketika demokrasi yang kita bangga-banggakan ini tidak lagi bisa berjalan, kemiskinan merajalela, lembaga peradilan tidak lagi menjadi sebuah tempat mencari keadilan melainkan tempat transaksi jual-beli. Maka, kita semua telah lupa apa yang telah diperjuangkan para pahlawan kita ketika memperebutkan kemerdekaan ini. Kita tidak pernah tahu apakah para pahlawan itu –seandainya masih hidup- akan bangga atau tidak bisa berkata apa-apa ketika melihat republik Indonesia sekarang ini semenjak Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mengutuk segala macam bentuk penjajahan. Meski tertatih-tatih, bangsa ini masih bertahan dan tetap mampu menunjukkan dirinya di tengah era globalisasi yang tidak bisa dielakkan lagi. Mau tidak mau kita sudah menjadi bagian daripadanya.

Ø Budaya Indonesia dan Budaya Korupsi di Indonesia

Di dalam dirinya, bangsa Indonesia sangat menghargai kebhinekaannya, karena kebhinekaan merupakan kekuatan yang sangat besar untuk membangun bangsa ini ke depan. Akan tetapi, kebhinekaan tanpa kesetaran dan keadilan berpotensi menghancurkan.[i] Menurut Siswono Yudhohusodo, keberagaman yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghancurkan masyarakat yang beragam. Kita hanya bisa maju karena semangat kesetaraan, keadilan dan persaudaraan.[ii]

Sayangnya, hal itulah yang tidak lagi disadari sekarang ini, di mana hukum rimba yang berbunyi ‘only the strong can survive’ menjadi sesuatu yang harus dipertahankan, kalau tidak ingin terinjak-injak oleh kemajuan jaman. Jurang antara si miskin dan si kaya menjadi ruang diskriminasi yang sangat mencoloj, hilangnya rasa persaudaraan karena pergeseran nilai-nilai kehidupan berbhineka menjadi nilai-nilai individual, dan rasa persaudaraan menjadi barang langka yang hanya menjadi komoditi kampanye belaka. Kita tidak perlu mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain ketika Indonesia yang di mata dunia memiliki keberagaman budaya yang luhur kini lunturyang disebabkan banyak faktor sudah menggejala di mana-mana dan menjadi penyakit kronis. Namun, faktor paling mencolok yang mencuat ke permukaan adalah masalah kemiskinan dalam setiap lini kehidupan masyarakat, ditambah dengan masalah pendidikan yang serba menyangkut urusan biaya. Dan, memang selalu masalah biaya. Akibatnya pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil menciptakan manusia-manusia bermoral dan berakhlak baik untuk ditempatkan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang pada kenyataannya pun miskin dalam hal moral dan akhlak.

Apakah itu karena kita telah gagal dalam memaknai pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Menurut Siswono Yudhohusodo, pancasila sebagai ideologi nasional harus dipahami dan dimaknai dari sejarahnya. Bukan dihafalkan seperti jaman orde baru atau dilakukan indoktrinasi seperti jaman orde lama. Pancasila merupakan sublimasi dari pandangan hidup dan nilai-nilai budaya yang menyatukan masyarakat dengan berbagai suku, agama, ras, bahasa, pulau, menjadi bangsa yang satu. Akan tetapi, semangat bhineka tunggal ika ini harus dimaknai dalam kesetaraan, keadilan, dan harmoni. Tanpa itu sulit tercipta kemajuan bersama.[iii] Jadi, pancasila saat ini perlu dihidupkan kembali dalam masyarakat yang sudah mulai melupakan dasar negaranya. Untuk memperbesar gaung pancasila, perlu adanya campur tangan pemerintah.[iv] Asal tidak mengulang kembali seperti yang dilakukan era orla dan orba, yang berarti nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pancasila harus diterapkan dan diaplikasikan dalam kehidupan berwarganegara. Jadi tidak sekedar menghafal. Dan memang memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya.

Lalu apa hubungannya antara budaya Indonesia dengan budaya korupsi di Indonesia? Menurut catatan The World Bank, Indonesia memiliki reputasi internasional buruk tentang korupsi telah diketahui luas. Bahwa dunia melihat Indonesia sebagai negara korup bukan merupakan berita bagi orang Indonesia, karena mereka tidak menutup mata tentang korupsi di negerinya,[v] dan lembaga-lembaga pemerintahan menjadi indikator berlangsungnya korupsi.[vi]

Ironis sekali kalau negeri Indonesia sebagai zambrud khatulistiwa memiliki penyakit korupsi yang menggerogoti dari dalam hingga hutan dan kandungan tanahnya menjadi gersang demi kepentingan dan kekayaan segelintir orang, sementara kemiskinan dan keterpurukan ekonomi menjadi tumbalnya. Korupsi telah menghadirkan terjadinya busung lapar, polio, infrasturktur yang buruk, dan membiarkan rakyat tidak berdaya karena menghadapi kenyataan kalau mereka juga tidak luput sebagai sapi perahan. Sampai Denny Indrayana berikrar, akhirnya, hanya dengan proklamasi merdeka dari korupsi yang menegaskan pemberantasan korupsi secara luar biasa dan secepat-cepatnya, Indonesia ke depan masih mungkin bisa diharapkan tetap ada. Tanpa itu, Indonesia hanya menunggu waktu untuk menjadi tiada. [vii] Karena itu, pemberantasan, penyelundupan, korupsi, atau subversi adalah tindakan vital bagi pemulihan ketertiban hukum dan karena itu harus dilakukan dengan tekun tanpa pamrih dan tanpa pandang bulu.[viii] Meskipun kita tahu itu adalah hal yang tidak mudah untuk dilakukan, tapi kalau didukung oleh seluruh lapisan masyarakat yang mengerti dan paham kalau kegiatan korupsi adalah musuh di depan mata yang dapat menghancurkan stabilitas bangsa dan negara ini harus benar-benar dimusnahkan. Dengan demikian, tidak ada yang mustahil kalau korupsi bisa hilang dari negeri Indonesia dan pelakunya dihukum seberat-beratnya.

Tapi apakah benar, sekarang jamannya jaman edan, seperti yang pernah diungkapkan pujangga besar bernama Ronggo Warsito, kalau tidak ikut edan tidak akan kebagian. Sampai-sampai orang bijak pun mengeluh, untuk menjadi orang jujur di jaman sekarang sungguh sangat sulit. Benarkah kalau kita jujur justru celaka? Seharusnya kita tahu bahwa kejujuran itu dapat mewujudkan keadilan. Aristoteles pun menyebutkan, kalau keadilan akan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama pula (justice is done when equals are treated equals). Namun, kalau yang terjadi justru sebaliknya, maka kita sudah pasti tahu kalau ada sesuatu yang salah sedang terjadi. Terlepas sadar atau tidak.

Oleh karena itu, dalam demokrasi modern, sektor peradilan memainkan peran penting dalam menjaga akuntabilitas lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif. Pemerintah sama-sama menentukan kerangka acuan legal maupun konstitusional sebuah negara, yang merefleksikan warga negaranya.[ix] Dalam keadaan seperti sekarang ini kita memerlukan kearifan yang berlaku secara luas, hukum-hukum dan perundang-undangan dan norma-norma yang hendaknya dapat melindungi seluruh individu-individu dalam negara dengan tidak meilih-milih. Semua seharusnya sama di depan hukum.

Negara hendaklah menjadi pendukung cita-cita susila, yang lebih-lebih dari untuk manusia seorang, berlaku untuk umat manusia seluruhnya, dan hal ini mendapat perwujudannya dalam negara sebagai suatu bentuk pergaulan hidup.[x] Yang terjadi sekarang malah justru politik kini menjadi sumber daya yang dipertaruhkan untuk kedudukan sosial dan kedudukan material. Kedudukan pengurus partai sangat diimpikan karena mendapat keuntungan material.[xi] Mereka menjadi lupa dengan tujuan awal bahwa apa yang seharusnya mereka lakukan adalah untuk memajukan kesejahteraan rakyat banyak berubah drastis menjadi tujuan mensejahterakan diri sendiri. Dan ini menjadi indikasi awal terjadinya korupsi di Indonesia di mana orientasi politik bukan berdasarkan komitmen ideologis, melainkan keuntungan semata.

Budaya Indonesia adalah budaya saling harga-menghargai, budaya Indonesia di mata dunia adalah budaya penuh keramah-tamahan. Tapi, yang mereka kenal sekarang adalah Indonesia dengan budaya korup sampai lapisan paling bawah sekalipun, korupsi kerap kali terjadi. Sementara hukum tidak dapat berbuat banyak karena ketakberdayaannya sendiri di tengah arus konspirasi yang sangat kental dan sangat sulit untuk ditembus oleh perangkat-perangkat hukum yang ada, sehingga menimbulkan keadaan dengan apa yang disebut sebagai ‘anomie’ yaitu suatu keadaan di mana tidak ada pegangan pasti terhadap apa yang baik dan apa yang buruk sehingga anggota-anggota masyarakat tidak mampu untuk mengukur tindakan-tindakannya, oleh karena batasan-batasannya tidak ada.[xii] Kalau demikian yang terjadi, seperti yang dikatakan Denny Indrayana, kita harus siap-siap kehilangan Indonesia yang kita cintai ini.

Ø Malu, Budaya yang Terlupakan

Bung Karno, Proklamator Indonesia, suatu kali berkata, “Kalau mereka memimpin, maka ketahuilah, bahwa yang mereka pimpin itu bukan satu rombongan kambing atau satu rombongan bebek atau satu rombongan tuyul, tapi satu rakyat yang kesadaran sosialnya dan kesadaran politiknya telah tinggi.”[xiii] Karena itu tidak jarang, setiap langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan pemerintah tidak pernah lepas daripada pandangan rakyat yang dipimpinnya. Karena demokrasi politik berasal dari kesadaran yang sangat dalam di hati sanubari rakyat akan demokrasi, yang erat hubungannya dengan kesadaran akan harga diri dan rasa kemerdekaan.[xiv]

Tapi ketika kekuasaan telah disalah artikan dan berubah menjadi kendaraan pribadi untuk meraup kekayaan negara sebanyak-banyaknya, pada saat bersamaan pula berarti pengkhianatan terhadap kesadaran hati nurani rakyatnya. Yang jelas, kekuasaan telah diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut.

Memang, persoalan kekuasaan, atau lebih luas lagi dalam persoalan politik suatu bangsa, atau lebih mendalam lagi persoalan manusia dan kebersamaan manusia, tidaklah ‘flat’, tidak datar, tidak hitam maupun putih, bukan searus atau segaris atas sepetak ruang; melainkan multi dimensional, bulat atau prismatik. Namun, kita juga melupakan satu hal, yaitu apa yang disebut sebagai rasa malu. Inilah yang sudah lama dilupakan kita, malu ketika kekuasaan itu diselewengkan, malu ketika amanah hanya dijadikan sandaran kursi yang didudukinya, padahal kursi itulah segala harapan-harapan rakyat hadir dihadapan orang yang mendudukinya, malu ketika uang negara dijadikan ajang foya-foya sementara di balik pagar besi istana, yang juga sejatinya adalah milik rakyat, anak-anak putus sekolah duduk di sampingnya dengan pandangan mengawang tanpa harapan yang tidak pernah pasti. Tapi yang kita rasakan adalah budaya yang ‘malu-maluin!’.

Mentalitas korupsi telah sedemikian mengakarnya dalam setiap segi dan pelosok kehidupan kita, baik dalam kepemerintahan maupun dalam masyarakat secara luas. Dalam kepemerintahan, segi birokrasi seharusnya dapat dilihat sebagai sistem rasional yang berprinsip efektivitas, efisiensi, ternyata dalam prakteknya justru irasional, bertele-tele dan korup. Dan, sebagai dampaknya, hal itu pun berlanjut dalam kehidupan bermasyarakat, siasat perjuangan hidup modern yang antara lain ‘tujuan menghalalkan perbuatan’ yang haram menurut ukuran moral agama, dijadikan halal oleh karena kepentingan tujuan. Dan celakanya lagi, ini telah membudaya di masyarakat luas. Moral inilah yang sekarang tidak lagi dimiliki sebagian penguasa dan masyarakat kita di mana budaya malu telah berubah menjadi budaya ‘malu-maluin’. Karena praktek korupsi yang merajalela saat ini perlahan-lahan mulai menghancurkan eksistensi bangsa. Karena itu, Judilheri Justam meyakini, setiap kali terjadi penyimpangan dan pengingkaran terhadap cita-cita dan tujuan proklamasi, maka akan terjadi upaya dan ikhtiar untuk dikoreksi.[xv]

Ø Seandainya Tak Ada Korupsi Dan Koruptor

Korupsi, yang dapat dikatakan. Sebagai sebuah bentuk pengingkaran terhadap makna pembangunan yang adil dan merata untuk seluruh rakyat Indonesia, telah sedemikian rupa hebatnya membuat perekonomian negara menjadi semrawut. Rakyat menengah ke bawah menjadi tambah ketakberdayaannya di tengah persaingan hidup yang semakin ketat itu dan kelemahan-kelemahannya menjadi korban dari kekuatan penjahat-penjahat kerah putih.

Padahal, menurut perdana mentri Kim Il Sung di tahun 1947, pernah berkata, untuk membangun negara yang demokratis, maka ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa ekonomi yang merdeka, tidak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tidak mungkin kita mendirikan negara, tidak mungkin kita tetap hidup.[xvi] Sementara kita masih mengharapkan bantuan-bantuan dari negara donor untuk membangun perekonomian di Indonesia, yang dalam kenyataannya pun tak luput dari praktek KKN di mana nota benenya adalah hutang negara yang dibebankan kepada rakyat untuk pengembaliannya. Dan memang, kita belum merdeka seperti apa yang kita bayangkan sebelumnya.

Berangkat dari pemikiran tersebut, gencarnya upaya pemberantasan korupsi pada pemerintahan Bambang Susilo Yudhoyono – Jusuf Kalla seakan memberikan angin segar kepada masyarakat yang mencita-citakan pemerintahan yang bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melanda Indonesia. Menurut Sri Sulistiyani, pemberantasan korupsi yang disepakati sebagai gerakan nasional ini seharusnya juga diikuti dengan langkah-langkah yang riil, penyelidikan dan persidangan dari berbagai kasus yang telah dilaporkan. Kalau seperti ini kan hanya menjadi wacana atau slogan.[xvii] Ketua BUMN Watch, Naldy Nazar Haroen juga menyatakan hal senada, menurutnya, masih banyak kekurangan dan kejangalan terutama hasil akhir pemberantasan korupsi itu yang membuat publik patah arang. Contohnya putusan pengadilan yang tak adil dan tak berpihak kepada misi pemberantasan korupsi itu sendiri.[xviii]

Karena itu, ketua pimpinan pusat Muhammadiyah, Syafi’I Ma’arif mengatakan, melawan korupsi harus dilakukan secara total karena korupsi sudah menggurita di mana-mana. Untuk itu, bangsa Indonesia harus menggunakan semua kekuatan bangsa untuk melawannya. “Tanpa komitmen memberantas korupsi dengan semua kekuatan, negeri ini akan tertatih-tatih menghadapi masa depan yang tidak jelas.”[xix]

Kita semua tahu, memandang Indonesia sekarang seperti memandang sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja, gesekan dan getaran sekecil apapun dapat memicu terjadinya ledakan yang tidak dapat kita bayangkan. Ketika ekses dari korupsi menyebabkan masalah-masalah ketidak setaraan dan ketida kadilan yang berubah dan muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi, sementara di tengah penderitaan bangsa orang rebutan kekuasaan dan tidak malu, alasannya pun jelas: duit adalah raja. Dari sanalah makhluk bernama korupsi itu diwariskan dari generasi ke generasi dengan tanpa penyelesaian. Kita belum bisa menciptakan Indonesia dengan pemerintahan dan perangkat-perangkatnya yang bersih dan jujur, kita juga belum mampu menciptakan orang kaya-orang kaya tanpa sentimen di mana hasil usaha dan kekayaannya dilakukan dengan jujur dan tidak curang. Moralitas menjadi begitu sunyinya, mendekam sendirian, karena ia tidak lagi menjadi ukuran untuk hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Apakah ini indikasi bahwa kita negara yang telah gagal. Sebagaimana dijelaskan Dr. Robert I Rotberg, indikator negara-negara yang gagal adalah cendrung menghadapi konflik yang berkelanjutan, kekerasan komunal maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik, agama, ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur lainnya dibiarkan hancur.[xx] Mudah-mudahan saja kita bukan sebagai negara yang gagal.

Alangkah indahnya Indonesia, senadainya benar-benar tidak ada korupsi dan koruptor, di mana setiap orang menghargai hasil jerih payah dan keringatnya karena diperoleh dengan jujur dan adil. Lembaga-lembaga birokrasi pemerintah, di mana menurut A. Coser – Bernard Rosenberg, merujuk pada suatu organisasi yang dimasudkan untuk mengerahkan tenaga dengan teratur dan terus menerus untuk mencapai tujuan tertentu. Atau dengan lain perkataan, birokrasi adalah organisasi yang bersifat hierarkis, yang ditetapkan secara rasional untuk mengkoordinir pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas-tugas administratif,[xxi] dapat berjalan efektif, efisien, tidak bertele-tele, dan yang pasti tidak korup. Lembaga-lembaga peradilan dalam memutuskan setiap perkara yang dilimpahkan kepadanya dapat memutuskan perkara dengan seadil-adilnya dan tidak berat sebelah, tanpa memandang golongan apapun dan kepentingan apapun, di mana saat ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan para penegak hukum sangat rendah. Perekonomian rakyat dan negara menjadi stabil karena setiap keuntungan digunakan untuk pembangunan secara menyeluruh yang dapat dinikmati masyarakat Indonesia seutuhnya. Pendidikan yang murah dan bertanggungjawab –bukan sebagai pedagang ijazah asli maupun palsu- yang menciptakan manusia-manusia bertanggung jawab untuk tetap mampu meneruskan cita-cita bangsa dan negara. Yang jelas, tidak bermental bunglon dan bermental korup. Niscaya, Indonesia masih akan tetap ada.

Ø Penutup

Memang telah terbukti kalau korupsi menyengsarakan rakyat, meski kita membutuhkan semua komponen bangsa untuk memusnahkannya, kita juga membutuhkan kesadaran dengan apa yang disebut sebagai ‘self-control’ atau pengendalian diri dan ingat kalau kita merugikan orang lain berarti kita juga merugikan diri sendiri. Dan, apa yang ada pada diri kita tidak lebih adalah amanah, ini berlaku untuk semua pemimpin, dan juga semua orang karena pada dasarnya mereka juga adalah seorang pemimpin untuk diri mereka sendiri. Hal ini akhirnya memicu social control yang sehat dalam masyarakat dan negara. Seperti peraturan emas yang dirumuskan O. Hoffe, bahwa sebagaimana engkau mengharapkan agar kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan keprihatinan-keprihatinanmu diperhatikan, begitu pula engkau harus memperhatikan kebutuhan, kepentingan, dan keprihatinan orang lain.[xxii] Hal ini juga memicu apa yang diharapkan Selo Soemardjan, bahwa dengan keseimbangan dalam masyarakat dimaksudkan sebagai suatu keadaan di mana lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dari masyarakat benar-benar berfungsi dan saling mengisi.[xxiii] Selaras dengan itu menyebabkan tumbuhnya suatu solidaritas yang mempunyai keinginan-keinginan sendiri, yaitu keinginan umum. Keinginan umum tadi adalah berbeda dengan keinginan masing-masing individu.[xxiv] Itu terbukti, dengan keinginan seluruh lapisan masyarakat untuk memberantas korupsi, meski dalam prakteknya pun mendapatkan banyak ganjalan-ganjalan.

Soekarno mengingatkan, salah satu ciri orang yang betul-betul revolusioner ialah satu kata dengan perbuatan, satu mulut dengan tindakan.[xxv] Karena memang itulah orang yang benar-benar dibutuhkan dalam segala jaman.

Akhirnya, ada sementara orang berdalih: orang baik adalah lebih baik. Ini benar. Tapi karena orang baik jauh lebih sedikit daripada orang yang tidak baik, dan karena adalah lebih mudah membuat undang-undang baik, daripada memperbaiki orang-orang yang tidak baik, usaha kesempatan untuk memperbaiki peraturan undang-undang haruslah dipergunakan sebaik-baiknya.[xxvi] Karena untuk bisa memandang ke depan, kita harus menentukan sebelumnya. Savoir pour prevoir.***

CATATAN AKHIR:

[i] Kompas, Bisa Menghancurkan, Kebhinekaan Tanpa Kesetaraan. Senin, 20 Juni 2005; hal.6; rubrik Politik dan Hukum.

[ii] Idem.

[iii] Idem.

[iv] Kompas, Pancasila Perlu Dihidupkan Kembali. Sabtu, 11 Juni 2005; hal.7; rubrik Politik dan Hukum

[v] The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan; Oktober 2004; hal. 44

[vi] idem, hal. 47

[vii] Denny Indrayana, dosen hukum tata negara UGM juga menjabat sebagai direktur Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta, dalam tulisannya ‘Proklamasi Anti Korupsi’ di Media Indonesia. Selasa, 19 Juli 2005; rubrik Opini; hal. 26

[viii] Yap Thiam Hien. Negara, Ham, dan Demokrasi. Penerbit Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Desember 1998, hal.26

[ix] The World Bank, Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan. Oktober 2004. hal.166.

[x] Mr. J. Bierens De Han, Sosiologi, Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adnan Sjami, 1953. hal.13

[xi] Kompas, Politisi Perlu Pendidikan Politik. Selasa, 3 mei 2005. hal.6. rubrik Politik dan Hukum.

[xii] Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar. Edisi 1, 1982. CV. Rajawali, Jakarta. Hal.340.

[xiii] Bung Karno, Panca Azimat Revolusi. Totalitas. Hal. 67-68.

[xiv] Mr. J. Bierens De Han, Sosiologi, Perkembangan dan Metode. Terjemahan Adna Sjami. Hal 171.

[xv] Judiheri Justam dari Petisi 50. lih. Kompas, Petisi 50 Soal Korupsi. Sabtu, 7 Mei 2005. hal.7. rubrik Politik dan Hukum.

[xvi] Lih. Bung Karno, Panca Azimat Revolusi, hal. 125.

[xvii] Sri Sulistiyani, Koordinator Gerakan Masyarakat Anti Korupsi (GEMAK) Jember. Lih. Media Indonesia, ‘Pemberantasan KKN hanya Slogan’. Selasa, 10 mei 2005. rubrik Nasional.

[xviii] Lih. Suara Pembaruan, Pemberantasan Korupsi Belum Sesuai Harapan. Senin, 25 Juli 2005. rubrik Nasional.

[xix] Kompas, Pemberantaan Korupsi Harus Dilakukan Secara Total. Kamis, 19 Mei 2005. rubrik Poltik dan Hukum.

[xx] Dr. Robert I Rotberg, direktur program konflik Jhon F. Kennedy School of Government, Harvard University, dalam sebuah sesi diskusi di CSIS. Lih. Kompas, 28 Maret 2005. penjelasan lebih lanjut lih. Peta Konflik Jakarta, Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara, dan Warga. Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (Yappika) hal.125

[xxi] pengertian birokrasi menurut A. Coser – Bernard Rosenberg. Untuk penjelasan lebih lanjut lih. Soejono Soekanto. Sosiologi, Suatu Pengantar. Edisi 1. 1982. CV. Rajawali, Jakarta. Hal. 293.

[xxii] Dikutip dari makalah Franz Magnis Suseno: ‘Menguasai atau berpartisipasi? Tentang Krisis Kebudayaan Teknokratis dan Kekuasaan untuk Mengembangkan Suatu Etika masyarakat Teknologi Baru’ dalam buku Dasar-Dasar Krisis Semesta dan Tanggung Jawab Kita. Universitas Nasional. Dian Rakyat, Jakarta. Cet.1, 1984. hal. 158.

[xxiii] Dikutip dari Soerjono Soekanto, Sosiologi, Suatu Pengantar. Ed.1, 1982. CV. Rajawali, Jakarta. Hal. 339.

[xxiv] Idem. Pendapat Rosseau. Hal. 27

[xxv] Bung Karno, Panca Azimat Revolusi. Totalitas. Hal.108.

[xxvi] Yap Thiam Hien, Negara, Ham, dan Demokrasi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Desember 1998. hal. 99

DAFTAR PUSTAKA:

· Agus Budi Purnomo, Fransisca Melia N Setiawati, Indra Jaya Piliang, Otto Syamsuddin Ishak; Peta Konflik Jakarta, Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara dan Warga. Penerbit, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi (YAPPIKA) Cet. 1, Januari 2004.

· Bung Karno; Panca Azimat Revolusi. Pen. Totalitas. 2002.

· Fraanz Magnis Suseno; makalah ‘Menguasai atau Berpartisipasi? Tentang Krisis Kebudayaan Teknokratis dan Keharusan untuk Mengembangkan Suatu Etika Masyarakat Teknologis Baru’ dalam buku, Dasar-dasar Krisis Semesta dan tanggung Jawab Kita. Kumpulan 13 Makalah Simposium Dasar-dasar Krisis Semesta dan tanggung Jawab Kita, diadakan oleh Universitas Nasional 4-5 Juni 1983. Pen. PT. Dian Rakyat Jakarta. Cet.1. 1984.

· Kompas; Politisi Perlu Pendidikan Politik; Selasa, 3 Mei 2005

· _______; Petisi 50 Soal Korupsi; Sabtu, 7 Mei 2005

· _______; Pemberantasan Korupsi harus Dilakukan Secara Total; Kamis, 19 Mei 2005

· _______; Pancasila Perlu Dihidupkan Kembali; Sabtu, 11 Juni 2005

· _______; Bisa Menghancurkan, Kebhinekaan Tanpa Kesetaraan; Senin, 20 Juni 2005

· Media Indonesia; Pemberantasan KKN Hanya Slogan; Selasa, 10 Mei 2005

· _____________; Proklamasi Anti Korupsi, oleh Denny Indrayana; Selasa19 Juli 2005

· Mr. J Bierens De Han; Sosiologi, Perkembangan dan Metode, terjemahan Adnan Sjami. Pustaka Sardjana No. 10. Yayasan Pembangunan Jakarta, 1953. judul asli: Sociologie Ontwikkeling En Methode (N.V. Servire – De Haan)

· Soerjono Soekanto; Sosiologi, Suatu Pengantar. Cet. 1, 1982. CV. Rajawali, Jakarta

· Suara Pembaruan; Pemberantasan Korupsi belum Sesuai Harapan; Senin, 25 Juli 2005

· The World Bank; Memerangi Korupsi di Indonesia: Memperkuat Akuntabilitas untuk Kemajuan; Oktober, 2004

· Yap Thiam Hien; Negara, HAM, dan Demokrasi; Yayasan Lembaga bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Desember 1998.

***tulisan ini aku buat tahun 2005.

Posted in TULISAN LEPAS | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | 9 Comments »

Perpuisian Indonesia: Mencari Jati Diri

Posted by permanas pada 10 September 2008

Oleh: Sawaludin Permana

Bicara mengenai puisi, pasti kita akan terkenang hal-hal yang indah tentang kalimat yang tersusun rapih di dalamnya. Permainan simbol dan makna membuat kita merenung, tersenyum dan bahkan kadangkala menitikkan air mata, kadang pula membuat kita tidak mengerti apa yang ingin disampaikan oleh sang penyair, karena tidak menyediakan pintu pemahaman yang membuat gelap pikiran kita. Tapi, di sinilah yang membuat suatu karya puisi itu menjadi hidup, pembebasan alam pikiran dibiarkan tumbuh dan terbuka dalam konflik pemaknaan yang melekat dalam susunan suatu kalimat. Sebuah puisi akan mandul apabila ia dianggap hanya sebagai bacaan selintas tanpa menyelidiki penyampaian pemikiran yang diberikan kepadanya. ‘Citra’ puisi itu akan mati karena tidak mengalir, ia hanya berhenti pada pemahaman sejenak. Namun, inti yang terkandung sebagai sebuah manifestasi tidak mencuat keluar ke dalam perilaku pembacanya.

Di sini kita mulai mengerti, mengapa prosa lebih dapat diterima ditengah-tengah masyarakat dari pada sebuah puisi seutuhnya. Jawabannya, mungkin, adalah prosa lebih mudah dipahami dan dimengerti, karena isinya memang jelas dan mudah dicerna oleh alam pikiran pembaca yang memiliki pola pikir berbeda satu sama lainnya dan makna-makna yang ada di dalamnya pun menjadi ‘terang’. Di situ suatu lambang simbol diuraikan secara gamblang dan detail lewat alur cerita yang ikut mengalir bersamanya. Pembaca pun menjadi mudah pula untuk menangkap apa yang disampaikan dan bahkan sangat menikmatinya.

Tapi, sayangnya, disamping itu pula puisi menjadi terdesak jauh ke belakang, menjadi barang usang tanpa perhatian sama sekali. Banyak puisi-puisi lama menjadi karam dan berkarat karena pembahasan dan penelitian sudah jarang sekali diperbincangkan. Pantun-pantun yang mengandung nasihat, syair-sayir lama nan religius, gurindam dan bidal yang hanya tinggal nama. Kita sebagai bangsa Indonesia seharunya merasa prihatin sekali atas nasib perpuisian Indonesia. Karena akar budaya bangsa Indonesia berasal dari sana. Bahkan, mungkin banyak generasi muda kita sekarang sudah tidak mengetahui lagi keberadaannya, mereka sudah sibuk dengan karya-karya yang datang dari luar, sedang ke-Indonesia-annya sendiri terlupakan. Kalau sudah demikian, generasi muda kita sekarang dan yang akan datang bisa kehilangan jati diri ditengah bangsanya sendiri, yang juga berakibat bahasa Indonesia akan semakin terpuruk di negerinya sendiri. Oleh sebab itu, akar budaya bangsa jangan sampai ditinggalkan, karena kalau ditinggalkan bahasa Indonesia akan terhapus, demikian pula bangsanya sendiri akan lenyap, terseret arus globalisasi. Jadi, jangan berharap banyak kalau kesusastraan Indonesia akan berdiri tegak di bumi persada sementara generasi mudanya tidak pernah mengenal apapun tentang kesusastraan Indonesia. Walau mungkin bersifat paradoksal, tapi itu adalah sebuah ironi dan kita tidak dapat menyangkalnya.

Seperti yang pernah diungkapkan Prof. James Danandjaya, guru besar antropologi dan foklor fakultas ilmu sosial dan politik (FISIP) Universitas Indonesia, “… Semakin banyaknya anak Indonesia mengidolakan tokoh-tokoh cerita asing, setidaknya dapat dijadikan bukti bahwa pemahaman anak terhadap budaya lokal semakin menciut. Memang tidak bijaksana bila arus informasi yang datang dari luar negeri dikekang begitu saja, tetapi seorang anak harus dibekali ke-Indonesia-an yang kuat, karena arus informasi dan percepatan lintas budaya antar bangsa yang terjadi sekarang ini bisa menimbulkan dampak negatif meskipun ada juga pengaruh baiknya…” (Suaka Metro). Dari sini kita bisa melihat betapa masih sedikit penulis-penulis yang dapat mewakili kepribadian bangsa Indonesia yang juga bisa sebagai faktor pembendung karya dari luar, ditambah lagi dengan serbuan budaya asing yang bercampurbaur dengan lemahnya budaya Indonesia saat ini. Keadaan semacam ini dapat merugikan sekaligus membahayakan dan sangat mengancam budaya Indonesia. Apalagi di tengah kemelut yang berkepanjangan, membuat semakin lunturnya semangat untuk tumbuh kembangnya bangsa yang berbudaya.

Memang, kita tidak dapat menyalahkan siapa-siapa, sepatutnya kita bertanya kepada diri sendiri kenapa hal semacam ini dapat terjadi. Perkembangan sastra (puisi) yang sudah sangat memprihatinkan membuat generasi muda semakin bertambah asing lagi dengan kesusastraan Indonesia. Apalagi keadaan sudah bertambah rumit. Satu-satunya jalan adalah berbuat lebih baik lagi dengan segala kemampuan yang ada, jangan sampai para sastrawan ikut-ikutan tidak peduli, yang nantinya akan semakin berkaratlah kesusastraan Indonesia. Saya merasa itu tidaklah berlebihan, mengingat keadaan sekarang ini, yang seharusnya menjadi pemicu untuk lebih giat lagi berkreasi demi untuk menghidupkan kembali kejayaan perpuisian Indonesia di masa lalu.

Saya mensinyalir kenapa kesusastraan Indonesia, khususnya puisi, menjadi terpuruk sedemikian rupa, setidak-tidaknya ada tiga hal yang ingin saya kemukakan. Karena, yang pertama: saya melihat di sekolah-sekolah, pengajaran kepada anak didik diajarkan dengan cara metode pemahaman yang kaku. Jadi, pemikiran seorang anak –dalam jenjang pendidikan apapun- tidak ‘lepas’ pencarian makna yang tersaji dalam sebuah puisi. Ini relevan dengan apa yang pernah diungkapkan Asrul Sani, bahwa pemahaman itu tidak melulu harus didasarkan pada metode. Biar cabaran pikiran menjangkau sesuai kewajaran yang ada di dalam kehidupan. Saya tidak percaya kepada pemahaman yang yang dilandasi kebakuan metode. Dengan metode, rasanya kok jadi banyak bagian-bagian yang hilang untuk pemahaman linear, ungkapnya. Kemungkinan mereka hanya sebatas kepada sekedar pemahaman saja, tidak lebih dari itu. Ini sama saja dengan seseorang yang menaiki perahu tetapi tidak pernah mengetahui keindahan dan kekayaan yang ada di dasarnya daripada apa yang hanya dilihatnya dari atas perahu.

Kedua: sendi-sendi kelembagaan yang ada di masyarakat tidak berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga masyarakat –yang bergerak dalam bidang kepemudan, entah itu gelanggang remaja, sangar-sanggar kesenian, karang taruna, atau hanya sekumpulan orang- yang seharusnya memberdayakan mereka tidak berjalan dengan semestinya. Aktif dalam menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kesusastraan, seperti lomba baca puisi, atau semacam bedah buku yang isinya menyangkut tentang perpuisian dan diskusi tentang kesusastraan. Semua itu jarang dilakukan, atau tidak pernah sama sekali. Walaupun dengan alasan kendala biaya atau semacamnya, toh, itu bukanlah sebuah pengecualian, karena masih dapat diupayakan dengan cara lain. Dengan berswadaya dan gotong royong misalnya. Biarpun dalam lingkup yang kecil, tapi ini adalah suku cadang untuk tetap bisa ber-eksistensi-nya perpuisian Indonesia dan kesusastraannya di tengah masyarakat dan bangsanya sendiri.

Ketiga: lesunya penciptaan hasil karya puisi dan sastra membuat dukungan dan sambutan generasi muda dan masyarakat menjadi rendah pula terhadap perpuisian Indonesia. Sejalan dengan itu akan semakin surutlah penghargaan mereka terhadap karya-karya sastra dan sastrawan yang berdiri di belakangnya. Semua orang mungkin tahu tentang ungkapan bahwa sebuah negara yang tidak mempunyai penyair dianggap kurang bermutu, lebih tidak bermutu lagi jika tidak menghargai para penyairnya. Lantas, bagaimana halnya dengan kita bangsa Indonesia yang katanya berbudaya?

Saya menyadari, memang tidak semua orang yang habis membaca sebuah cipta sastra lantas menjadi seorang penyair atau sastrawan. Jawabannya, tidak! Tapi bukan berarti mengesampingkan kalau semua manusia di dalam dirinya selalu mencintai keindahan, karena pada dasarnya manusia itu sendiri adalah obyek sekaligus subyek dari keindahan. Walau hadir dalam bentuk apapun, manusia akan meresponnya, baik pujian maupun kritikan. Manusia adalah tujuan dari keindahan. Begetu pula dengan kesusastraan, pikiran akan menjadi terbuka, dalam artian mereka dapat membebaskan pikiran merekan sendiri dan menemukan arti dari makna-makna yang ada di dalamnya dan berlanjut ke dalam perilaku mereka sebagai penanaman sebuah prinsip. Dengan begitu nilai-nilai yang dihadirkan menjadi hidup karena menyatu dengan hati dan jiwa pembacanya dan tidak berhenti kepada pemahaman yang berpendapat bahwa suatu karya sastra harus dianggap baik tanpa mendapat kritik yang tajam. Kalau demikian yagn terjadi, maka suatu karya sastra tidak berperan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu sebuah karya sastra harus diselidiki. Sebuah karya sastra bukan hanya di dapat melalui ‘ilham’ saja, tetapi juga hasil dari pemikiran dan kesadaran pengarangnya. Jadi, saya menekankan penilaian itu jangan selalu mengedepankan estetika semata tanpa memberikan sumbangsih apapun kepada masyarakat. Tapi, apakah suatu cipta sastra itu berdampak baik atau buruk di tengah masyatakat yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya karya itu dapat melekat pada perilaku pembacanya.

Di sini esensi sastra sebagai benteng moral sangat diperlukan. Itu memang harus. Karena kesusastraan yang sejati adalah bahwa isi kesusastraan itu bermanfaat bagi masyarakat luas dan bersifat sebagai pembendung dan penyaring (filter) kebudayaan asing yang masuk ke tengah-tengah masyarakat, di mana rata-rata penduduknya adalah hetero-kultural dan hetero-sosio yang pada akhirnya sastra sebagai salah satu perangkat untuk menghaluskan akhlak dan budi pekerti masyarakat. Jadi, tidak hanya mengedepankan aliran seni untuk seni seperti yang terjadi pada bangsa barat di masa lalu yang berkesan borjuisme yang serba sekular, dan bukan hanya sekedar berdaya cipta menumbuhkembangkan aliran seni untuk rakyat yang menyelewengkan istilah ‘rakyat’. Semua itu akanmelahirkan konflik sosia;, kesenjangan kaya dan miskin, perkosaan dan perhambaan, membunuh kelas yang satu demi memenangkan kelas yang lain, manipulasi antar tiap golongan yang nanti pada akhirnya akan menimbulkan kekacauan secara besar-besaran. Kalau sudah demikian sastra tidak lagi berfungsi sebagai penghalus budi, ia telah berubah fungsi menjadi alat propaganda yang murah.

Sekarang yang harus benar-benar diperhatikan adalah bagaimana membangun kembali citra masyarakat terhadap karya cipta sastra Indonesia pada saat ini dan juga untuk masa-masa berikutnya lewat karya-karya yang dihasilkan supaya membangun paradigma masyarakat kepada hasil karya sastra. Di sinilah peran kita semua dan para sastrawan sangat dibutuhkan, mengingat sastrawan maupun penyair sangat sensitif dengan gejala sosial-budaya yang bergerak dan hidup di tengah-tengah masyarakat dengan meng-aktualisasi-kan pikiran-pikiran mereka lewat karyanya. Karena, seorang penyair yang besar adalah penyair sekaligus seorang filsuf.

*****

Di abad yang serba canggih ini teknologi menjadi amat begitu penting sebagai sarana penunjang kehidupan manusia di dunia ini dan tumbuh dengan sangat pesat sekali karena di dalamnya menyediakan informasi-informasi yang super-komplit. Siapa yang memiliki teknologi paling canggih dia memegang bendera peradaban dan siapa yang paling banyak menyerap informasi dengan benar dialah yang mewarnai peradaban dalam dunia ini. Karena sifatnya yang mengglobal. Jadi, kesusastraan mau tidak mau akan tetap membutuhkan sarana ini. Dengan begitu ia –kesusastraan- akan dapat berperan dalam persaingan yang universal, di smaping media lainnya sebagai pengembangan kesusastraan Indonesia untjk mengenalkan kesusastraan kita kepada dunia internasional. Tapi, bikan berarti buku atau media cetak tidak dibutuhkan lagi. Sebab, di dalam perangkat komputer yang penuh dengan informasi, semua terjadi begitu cepat bila dibandingkan dengan buku. Karena, berita-berita yang disajikan setiap hari bertambah dan akan terus bertambah, yang memungkinkan informasi yang terserap akan menjadi terbengkalai karena kurang pengkajian yang mendalam, sementara itu di depan mata sudah ada karya-karya atau informasi-informasi yang lain lagi. Beda halnya dengan buku, karena semuanya berlangsung tetap dan stabil. Jadi, dalam pengkajiannya pun tetap dan stabil pula. Karena itulah buku dan media cetak lainnya tetap dibutuhkan, selain tentunya dengan mempergunakan media komputerisasi.

Sastra masuk komputer (baca: internet) memang bukanlah hal baru bagi kita semua, ini terlihat begitu banyaknya situs-situs sastra yang marak di internet. Dan, karya-karya yang dihadirkan pun patut diperhitungkan oleh kita semua. Menurut Iwan Soekri Munaf, salah seorang editor Graffiti Gratitude (GraGra), kepada Sinar Pagi, ia mengatakan bahwa internet lebih mempercepat kematangan dan kemunculan penyair wajah baru, yang karyanya boleh bersaing dengan penyair koran yang lebih senior. Di dalam media konvensional seperti media massa dan penerbitan, boleh jadi nama-nama penyair yang potensial akan terhambat muncul karena berbagai kendala teknis dan non teknis. Misal, harus bertarung terlebih dahulu dengan selera redaktur budaya dan keterbatasan ruang yang ada. Namun, saya berharap, dengan bantuan media internet, secara lambat laun keterpurukan kesusastraan Indoneisa sedikit demi sedikit akan mampu berdiri dan dapat bersaing dengan kesusastraan bangsa lain, diikuti pula oleh bangkitnya kembali minat dan perhatian generasi muda bahwa betapa pentingnya suatu kesusastraan bagi sebuah bangsa sebagai hasil dari pemikiran dan kebudayaan.

*****

ketika kita dihadapkan kepada sebuah kehidupan yang serba mekanis, waktu yang serba cepat dan serba instant, kita semua merasa gersang dan gelisah. Kita mulai sadar untuk mencari sebuah ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan yang mulai menjemukan. Di sinilah sesungguhnya suatu kesusastraan dibutuhkan dan dirindukan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan masyarakat yang kadangkala sering dialpakan dan dibiarkan bertumpuk dan berdebu. Kita tertidur dengan mimpi-mimpi dan ilusi tanpa pernah tersadar untuk bangun dan berbuat sesuatu.

Puisi mengajarkan kita tentang keindahan dan kelembutan lewat kata-katanya yang bijak, meski terkadang ia juga bisa sekeras batu dan menghantam. Membawa kita kepada pengalaman bathin dan pengembaraan pikiran, membuka salah satu jendela kehidupan yang sarat dengan makna-makna dan mencari setitik cahaya dalam kegelapan. Puisi dan filsafat seperti kuku dengan daging yang tak dapat dipisahkan, di dalam dirinya selalu ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada pada diri setiap manusia yang sering tidak terungkapkan lewat kata-katanya yang sedikit.

Puisi sebagai hasil kebudayaan dari pemikiran manusia menawarkan kita untuk menciptakan kerukunan, kedamaian, saling hormat menghormati dalam nuansa yang berbeda-beda dari kehidupan manusia untuk menjaga dan meneruskan nilai-nilai yang telah menjadi kesepakatan dalam masyarakat. Di sana kita akan menemukan jati diri dari sebuah puisi, menyerasikan kehidupan dengan dunianya yang beraneka ragam.

Apabila seorang penyair menangis, menjatuhkan air mata, maka tanpa ragu lagi bangsa yang didiaminya itu sedang sakit. Karena seorang penyair adalah sebagai mata dalam tubuh manusia, ujar Muhammad Iqbal, yang kalau diartikan kurang lebih adalah juga sebagai mata dalam sebuah bangsa dan negara. Oleh sebab itu, mari kita semua bersama-sama membangun lagi kejayaan perpuisian Indonesia, mari kita bersatu dalam keragaman, karena keragaman adalah tempat yang cocok untuk berkesenian, dan dengan berkesenian kita mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan.***(dari berbagai sumber, 2001)

Posted in OPINI | Dengan kaitkata: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , | Leave a Comment »